Upper and Lower
Waktu yang sama. Jalan yang sama. Pemandangan yang sama. Pagi hari ke entah-berapa-ratus kali aku melewati ‘pertunjukkan’ nyata yang sama.
Perkampungan yang sama, dengan rumah-rumah petak berdempet. Hilir mudik anak-anak ingusan yang berlarian–lupa apa itu yang disebut ‘sekolah’, riuh rendah ibu-ibu berbagai usia yang mengerubungi gerobak tukang sayur keliling.
Bermacam-macam logat terdengar silih berganti. Ada yang tegas menghentak, khas dan kental, lembut dan menenangkan sampai yang merepet tak henti-henti. Mungkin ini manifestasi dari ‘Bhinneka Tunggal Ika’. Ketika sekelompok laki-laki berbeda usia, budaya, latar belakang, duduk bersama di satu warung kopi–membahas harga BBM dan setoran angkot mereka.
Sebagian mereka bertopeng. Sebagian lagi pasrah menerima apa adanya yang mereka miliki. Menerima kenyataan menjadi bagian dari rakyat pinggiran.
Sementara di belakang mereka ribuan jendela kaca memperlihatkan pertunjukkan yang lain dari gedung-gedung bertingkat. Tentang mereka yang datang dari berbagai penjuru negeri untuk mengejar mimpi di kota yang mereka sebut ‘gudang uang’.
Aku mengamati orang-orang di balik kaca itu. Di depanku, barisan manusia berpakaian rapi bergerak seragam, berirama, memasuki setiap pintu gedung-gedung itu.
Banyak dari mereka tersenyum lebar. Oh…tunggu sebentar.
Wajah-wajah murung tersembunyi di balik topeng-topeng itu. Beberapa memilih tak bertopeng, berjalan menunduk terbawa arus. Berusaha menghindar dari orang-orang yang menyodorkan topeng untuk mereka. Sebagian lagi yang cukup tangguh, berjalan tegak membiarkan wajah mereka bebas tanpa topeng. Ya, segelintir dari mereka.
Aku menghentikan langkah. Melihat ke sekelilingku. Apa yang dipikirkan orang-orang ini? Apa yang mereka punya sampai-sampai mereka berani menginjakkan kaki di kota yang keras ini? Apakah mereka sudah sebegitu hilang harapan di kampung halaman mereka sampai rela merantau untuk menambah cerita miris di sini? Apa yang mereka kerjakan di sini? Apakah mereka bahagia dalam keadaan yang jungkir-balik dengan gedung-gedung di belakang mereka? Apa yang mereka cari? Kenapa mereka tidak pulang saja? Kenapa mereka bertahan di sini? Apakah itu simbol ketangguhan? Atau justru kepasrahan karena mereka tidak punya harapan untuk pulang?
Aku kembali memperhatikan manusia-manusia yang berkerumun di balik gedung-gedung itu, Mereka punya harapan tinggi. Cita-cita tinggi. Beberapa dari mereka memiliki kecerdasan yang superior. Apa yang mereka cari di sini? Kenapa harus ke sini? Kenapa mereka harus memakai topeng-topeng itu?
Kepalaku hampir meledak. Terlalu banyak pertanyaan yang mendesak untuk dijawab.
Aku menghela nafas panjang. Beranjak, mempercepat langkah menuju barisan orang yang memasuki gedung-gedung bertingkat itu. Bergabung dengan mereka.
Dan memastikan bahwa topengku sudah terpasang dengan semestinya.