A Cup of Hot Chocolate

Bandung, Oktober 2012

“Jadi pesen apa aja nih? Suka-suka gue? Bener ditraktir?”

“Iyeeee bawel! Cepet sana mau apaan?”

Rasanya puas banget gue hari itu. Biyan, sahabat masa kecil gue tiba-tiba berbaik hati nraktir gue di coffee shop favorit kita. Sepu-as-nya! Katanya sih dia lagi happy banget gara-gara buku pertamanya berhasil jadi best seller. Di Indonesia.

Gue lupa kapan pertama kalinya Biyan suka nulis. Yang gue ingat, dari waktu kita sama-sama masih suka pura-pura main jadi power ranger, Biyan udah suka bikin cerita aneh-aneh. Gue selalu jadi power ranger biru yang overdosis yupi burger sampe bisa terbang (sumpah, sampai sekarang gue gak paham apa korelasi ‘permen-yupi-bentuk-burger’ dan ‘bisa-terbang’. Hanya Biyan dan Tuhan yang tahu). Sementara Biyan, jadi power ranger pink yang pake baju Cinderella. Entah dikasih makan apa sama orangtuanya waktu dia kecil, sampai-sampai tumbuh jadi cewek ajaib kayak gitu.

Buat gue, nggak ada perasaan yang lebih bahagia ketika lihat setumpuk novel di rak best seller toko buku terkenal dengan nama sahabat kecil gue tercetak di situ. Gue nggak nyangka aja, akhirnya ide-ide nyeleneh Biyan berhasil dibukukan dan jadi hip banget. Like everybody loves this girl.

Ah, akhirnya selesai juga urusan bayar-bayaran. Biyan melenggang anggun dengan gue di belakangnya, membawa senampan penuh berisi Americano coffee, hot chocolate, bermacam-macam pastry, satu slice chocolate cake, satu cup tiramisu, dan churros. Seandainya ini adalah hasil rampasan perang di zaman kemerdekaan, gue pasti udah teriak ‘MERDEKA!!!’.

Kami duduk di salah satu sofa yang ada di pojok coffee shop itu. Our favorite spot. Karena dari situ, kami bisa melihat ikon kota Bandung, jembatan layang Pasupati, dengan background lampu-lampu kota. Cantik sekali.

“Ang, lo kapan balik lagi ke Aussie? Masih lama, kan?”, tanya Biyan sambil menyeruput hot chocolate nya.

“Ah…pengennya sih lama. Tapi minggu depan gue udah harus balik lagi. Masih banyak yang harus diberesin”, jawab gue santai sambil mencelupkan churros ke dipping sauce yang terbuat dari cream cheese.

“Nggak asik deh…gue Jumat depan mau ada talkshow, lho. Ngebahas novel gue. Di kampus gue dulu”, katanya sambil mengerecutkan bibirnya.

“Wah serius? Yah nggak bisa gue…Jumatnya aja gue udah harus balik lagi. Gue streaming di YouTube aja, dah”.

“Angger, please. Nggak seru dong kalo nonton di YouTube doang”, kata Biyan lagi sambil memutar bola matanya.

Ekspresinya lucu kalau sudah bete kayak gini. Gue tertawa. Ada pahit di tawa gue, sepahit Americano yang baru saja meluncur di lidah gue.

“You’ll be doing great, Biyan”, kata gue sambil tersenyum.

By the way, gue masih nggak percaya buku lo bisa selaris itu. Nyamperin dukun mana, lo?”, canda gue mengalihkan perhatian.

“Sialan! Nggak lah, Ang! Temen lo ini memang dari sononya udah berbakat, tau!”, katanya sambil menimpuk gue dengan tisu.

“Heh, bakat lo itu yang gue tau bikin cerita power ranger nyeleneh yang nolongin bumi dari monster nasi. Not to mention karakter ajaib power ranger yang aneh-aneh. Sebagai laki-laki, kadang gue suka sedih kalo inget jaman kita kecil dulu. Kok bisa sih, kita temenan sampai sekarang?”,ledek gue lagi

Ada ekspresi kesal di wajah Biyan. Tapi dia juga nggak bisa menahan tawa. Well, we spent almost the next 30 minutes dengan ledekan dan obrolan nggak bermutu.

Sampai akhirnya, Biyan mengangkat topik yang agak serius.

“Ang, lo seriusan nih sampe sekarang masih jomblo aja? Emang di Aussie gak ada cewek kece ya?”, tanyanya santai.

Damn, Biyan. Pertanyaan itu lagi. Hah! Kenapa makhluk ini selalu bikin gue mendadak bodoh untuk urusan seperti ini, sih.

Gue menenggak habis Americano yang masih tersisa. Well, mungkin sekarang udah waktunya.

“Nggak ada yang sreg, Bi. Nggak ada yang nyantol”, jawab gue.

“Angger, Angger….mau yang kayak gimana lagi sih emang?”, tanya Biyan heran.

“Yang pasti sih gak kayak lo”, jawab gue diiringi senyuman jahil.

Tiba-tiba, seakan ada seratus suara di kepala gue yang berteriak ‘LIAR! LIE LIE LIE!’. Yeah, whatever!

“Lo sendiri gimana, Bi? Nggak bosen check in di Path with temen-temen mulu? Kapan sama pacarnya?”, ledek gue lagi.

“Lah kenapa malah gue yang kena! Payah nih…”, tawanya

Hening sesaat. Biyan menyesap hot chocolate nya.

“Sama kayak lo. Belum ada yang sreg”, jawabnya kemudian.

Biyan ini, bukan hanya ide-idenya yang aneh. Love story nya juga aneh. Biyan benci komitmen. Gue nggak tahu kenapa. Tapi, dia selalu bilang kalo one day, dia pasti bakal settle down ketika ada cowok yang tepat buat dia. Which is susah banget ditemukannya karena Biyan itu picky luar biasa.

“Ganti topik deh….males gue ngebahas beginian. Awas sampe lo ntar ngomong lagi kayak emak gue ‘Mas Angger, kapan dong dikenalin ke Mami calonnya? Mami udah pengen nimang cucu, nih’”, ujar gue kemudian.

Biyan tertawa. Kemudian gue menyodorkan sebuah tisu dan pulpen.

Write”, kataku sambil menunjuk ke arah tisu.

Biyan mengernyit. “Lo nyuruh gue nulis?”, tanyanya.

“Iya. Gue butuh bukti kalo lo itu bukan penulis abal-abal”, jawab gue.

Biyan mengangkat alis, lalu menyibakkan rambut ikalnya. Dia tersenyum. Seakan-akan mendapatkan lawan yang seimbang untuk pertandingan tinju.

Well, challenge accepted, sir! Give me your keyword”, tantangnya.

Gue melihat sekeliling. Berpikir sejenak. Lalu menunjuk minuman favoritnya.

“Hot Chocolate”, kata gue kemudian. Seolah-olah seorang jendral sedang memerintah prajuritnya.

“5 minutes, sir!”, jawabnya

“Enak aja 5 menit! Lama amat. Mie instan pake telor udah mateng kali tuh. Nggak ada. 1 menit!”, jawab gue lagi.

“Galak bener…iye deh iye, 1 menit…Mulai nih ya”, katanya lagi sambil menunduk lalu mulai menulis.

Entah kenapa, tapi menurut gue, Biyan selalu terlihat seksi saat lagi menulis. Nggak tahu itu gara-gara ekspresinya yang serius, tangannya yang sibuk memainkan rambut dan memutar-mutar pena mencari ide, atau efek angin dari kipas angin yang ada tepat di sebelah kami.

Nggak lama kemudian, Biyan mengacungkan kertas tisu itu tepat di wajah gue.

“FINISH!”, serunya.

Gue tersenyum puas. Lalu membaca tulisan tangan Biyan yang kecil-kecil dan rapi.

Spending my time with you is like sipping a cup of hot chocolate in a cold rainy day

Warm. Sweet. It feels good. Too good…and I’m addicted.

Once you drink a hot chocolate, you’ll sip, sip, sip, and sip until it left nothing but the last drip.

Once we have a conversation, we talk, talk, talk, and talk until we left nothing to say, but a silly laughter

When a was kid, I always dreamed of a river, full of hot chocolate,

Now I’m a big girl, I dreamed of a home, full of love. Our love

That kind of love that stay sweet until our breath stopped

Like a cup of hot chocolate that stay sweet until its last drip, dropped

 

Jantung gue seolah berhenti, membaca setiap kalimat yang Biyan tuangkan di situ. This is just too sweet. 

Gue menatapnya. Lama. Ada rona merah di wajahnya, yang ia coba sembunyikan di balik cangkir hot chocolate nya.

“Bi…ini bagus banget”, ujar gue setengah sadar.

Biyan menunduk malu-malu. Baru pertama kali gue lihat dia seperti ini di depan gue.

Thanks, Ang…”, katanya sambil tersenyum.

“Boleh gue simpan? Siapa tau ada bule Aussie yang mau nyari penulis buat dijadiin istri”, kata gue asal

“ANGGER!!!”, serunya sambil menjewer telingaku.

Kami berdua tertawa.

Ya, nothing left but a silly laughter after a long conversation.

Kami menghabiskan waktu hampir dua jam di sana. Membicarakan banyak hal. Bertemu Biyan selalu berasa kayak a little piece of heaven sebelum gue harus balik lagi ke Sydney, melanjutkan studi S2 arsitektur gue sambil kerja juga di salah satu perusahaan interior design di sana. Gue pulang cuma bisa setahun sekali. 5 tahun sudah gue tinggal di sana dari awal gue ambil S1. Dan selalu, Biyan satu-satunya cewek yang gue kangen. Walaupun banyak cewek kece di Aussie.

Akhirnya, jam menunjukkan pukul 7 malam. Well, gue harus segera balikin Biyan ke Ayah dan Bundanya.

***

1 jam kemudian, kita sampai juga di rumah Biyan. Gue pamitan dan ngobrol sebentar dengan orangtuanya. Lalu Biyan mengantar gue sampai ke teras.

“Yah…lo cepet banget sih balik ke Sydney nya. Gue belom puas ngebully lo nih, Ang”, katanya manja.

“Nanti kalo gue kelamaan di sini, bisa-bisa lo jatuh cinta..”, balas gue sambil terkekeh.

Biyan menonjok bahu gue. Lalu memegang pundak gue dengan canggung.

“Ang, janji ya. Tulisan gue yang tadi, lo simpen baik-baik. Jangn dikasih ke bule Aussie yang lagi nyari penulis buat dijadiin istri”, katanya sambil merengut.

“Hahaha! Iya lah, Bi! Gue bercanda doang kali. Emang kenapa kalo gue kasih ke orang lain, Bi?”

Biyan terdiam sesaat mendengar pertanyaan gue. Dia menatap gue dalam. Dan lama. Lalu berkata pelan

“Itu buat lo. You’re a cup of hot chocolate that I’ll always missing for

Woo-hoo!!! Butterfly in my stomach!! Rasanya ada seribu kupu-kupu yang bikin gue masuk ke dimensi lain. Yang bikin gue nge freeze. Yang bikin gue pengen lonjak-lonjak setengah mati.

Come on Angger! Come on! Say something!, kata suara di pikiran gue.

Sayangnya otak gue terlalu beku buat dipake.

Hal berikutnya yang gue ingat adalah gue bilang ke Biyan “it means a lot to me…thanks…blah blah blah”, lalu “gue pamit ya”.

Dan meninggalkan Biyan membeku di teras depan rumahnya. And I drove back home.

Sampai akhirnya, otak gue mulai bekerja.

Angger!!! Kok bodoh banget sih lo! That’s Biyan. Sahabat kecil lo yang lo suka dari jaman entah kapan tau!! She loves you back, for God’s sake! Balik!! Putar balik!!!!!!

Ya, ya…otak gue kerjanya lambat banget. Tapi badan gue sudah siap menerima perintah dadakan dari otak gue. Tiba-tiba aja gue udah putar balik dan mengemudikan mobil gue macam di balapan F1. Menuju rumah Biyan.

Mobil gue sudah terparkir aman tepat di pagar rumahnya. Gue segera berlari, membuka pagar Biyan yang (Thank’s God) belum digembok. Lalu mengahmbur ke pintu rumahnya, mengetuk-ngetuk nggak sabar.

Biyan muncul dengan wajah gusar saat membuka pintu. Lalu berubah kaget ketika melihat gue di depannya.

“Bi, Bi…Biyan…Ayah sama Bunda mana?? Udah tidur belum??”, kata gue terengah-engah

Ang?? Lo kenapa?? Ada, mereka di dalem..lagi pada nonton TV..kenapa sih, Ang??”, tanya Biyan panik.

Tiba-tiba Ayah dan Bunda Biyan sudah menghampiri kami di depan pintu.

“Angger, ada apa? Kok ada ribut-ribut ini kenapa? Sini, masuk..duduk dulu…”, kata Bunda Biyan.

“Ng…Nggak, Bun. Makasih, Bunda…Angger di sini aja. Angger cuma mau tanya…”, tanya gue terengah.

Jantung gue serasa berhenti ketika Ayah dan Bunda Biyan menatap gue dengan penasaran.

“Iya…Angger, mau tanya apa?”, kata Ayah Biyan setelah hening beberapa saat.

“Angger sayang sama Biyan, Yah! Boleh nggak Angger nikah sama Biyan dan bawa Biyan ke Sydney?”

Dan semuanya hening.

***

Bandung, Desember 2062

Aku memandang kakek. Sampai terpelongo. Di depanku, kakek cuma tersenyum penuh arti.

“Itu, love story nenek sama kakek dulu, Di…”, kata kakekku sambil menyeruput kopinya.

Aku tersenyum, menggeleng terheran-heran.

“Jadi, kakek nggak pernah punya pacar selain nenek?”, tanyaku

Nope”, jawab kakek singkat

“Eh tunggu deh…kakek nggak pernah pacaran juga kan sama nenek?”

“Hmmm…pacarannya setelah kakek sama nenek nikah”, jawab kakek sambil tersenyum.

“Nggak pernah ada cowok atau cewek lain yang kakek atau nenek deketin?”

Kakekku menghela nafas panjang, lalu melepas cincin platina di tangannya. Lalu menunjukkan inisial ‘A & B’ di dalamnya padaku.

“Nggak ada, Dika…dari dulu sampai sekarang, cuma ada Angger dan Biyan”, kata kakek lagi.

Aku nggak pernah nyangka kalau kakek dan nenekku punya cerita seromantis itu. Sebenarnya hari ini aku datang ke rumah kakek dan nenek untuk pamit, karena aku rencananya akan melamar Kirana, pacarku. Papa dan Mama sudah memberikan lampu hijau, dan aku tinggal minta doa restu pada ‘sesepuh’ yang mewariskan gen di tubuhku ini. Tapi ternyata, kakekku malah menceritakan  love story nya dengan nenek.

Aku tersenyum bangga, memandang kakekku. Dia masih gagah di usianya yang hampir 70 tahun. Dan selalu melakukan hal-hal romantis untuk nenek, walaupun keduanya sudah sama-sama sepuh.

Kakek menepuk pundakku.

“Dika, setiap love story punya happy ending nya masing-masing. Lihat kakek sama nenek. Angger dan Biyan muda, akhirnya live happily ever after. Cuma dari secarik tisu, surat cinta nenekmu buat kakek. Tapi itu yang meyakinkan kakek tentang perasaan kami, sampai kakek berani langsung melamar nenekmu malam itu juga…”, katanya

“Biarpun nggak ada romantis-romantisnya waktu ngelamar, nenek terima aja. Lah namanya udah cinta….”, sambung nenek yang baru saja datang dan membawakan sepiring brownies untuk kami.

Nenek lalu duduk di sebelah kakek, keduanya saling berpandangan. There’s love. Lots of love in their eyes.

“Nah, sekarang…kamu udah yakin sama perasaanmu dan…siapa namanya? Kirana ya?”, tanya kakek.

“Iya, Kek…Kirana”, ujarku sambil tersenyum.

“Ya sudah, kalo kamu udah yakin…ya go ahead aja. Kakek yakin, cinta itu selalu punya power buat bikin pemiliknya bertahan dalam kondisi apapun…Kamu udah siap, Dika? Marriage is not an easy thing, boy

Aku menarik nafas dalam. Menggosok-gosokkan tanganku, lalu berkata dengan pasti.

“Iya, Kek. Dika siap!”, kataku yakin.

“Kakek mau kamu janji satu hal…bisa, Dika?”, tanya kakek.

“Janji apa, Kek?”

“Janji, kamu akan selalu jaga Kirana. No matter what happen. Dan kamu harus bikin love story kamu selalu manis. Like a cup of hot chocolate.”, kata kakek

Aku tersenyum, lalu menangkupkan tanganku di atas tangan kakek.

“Dika janji, kek”

Kakek tersenyum bangga. Lalu mengalihkan pandangannya pada nenek

“Look, honey. Our little boy is now a gentleman. Sebentar lagi kita punya cicit”, kata kakek pada nenek.

***

Bandung, Juni 2063

Kirana cantik sekali hari itu. Dengan gaun putih panjang dan mahkota bunga di atas kepalanya. Dia seperti ratu sehari. Dan aku rajanya.

Janjiku pada kakek, beberapa bulan yang lalu, akan selalu kupegang. Sayang sekali, kakek dan nenek tidak bisa melihat kami berdua hari ini. Tepat di malam pergantian tahun, beberapa hari setelah aku mengunjungi mereka, kakek dilarikan ke rumah sakit karena serangan stroke. Kakek beristirahat dengan tenang dalam pelukan nenek. Selang lima menit kemudian, nenek menyusul kakek. Dokter menyatakan nenek terkena serangan jantung.

Tapi, hari itu, di tengah-tengah ratusan undangan, aku dapat melihat mereka berdua tersenyum ke arahku. Hanya sekejap. Kakek Angger dan Nenek Biyan. Inspirasiku tentang arti true love.

Oh iya, sebelum kakek meninggal, beliau mewariskan sesuatu yang sangat penting untukku. Yang membuatku ada saat ini. Tulisan A Cup of Hot Chocolate dari nenek di selembar tisu. Yang ditulis nenek di sebuah sudut di coffee shop favorit kakek dan nenek.

Sekarang, giliranku dan Kirana menuliskan cerita kami.

Another kind of love that stay sweet until our breath stopped