3 Senjata
Semarang, 1947
Hujan peluru, letupan senjata-senjata api, ledakan granat, raungan para pejuang yang menghunus bambu runcing ke tubuh musuh di detik terakhir pertahanan nyawa mereka, meningkahi tengah malam di hutan belantara tempat kami bertempur malam itu. Tanahnya basah, berlumpur merah darah dari para pejuang Indonesia dan serdadu Belanda yang menginjak-injak bangsa kita. Apa lagi yang mereka cari? Apa belum cukup mereka meluluhlantakkan negara dan rakyat negeri ini selama 3 abad lebih?
Malam itu, hutan terlihat lebih terang dan ramai, alih-alih sunyi senyap dan gelap seperti biasanya. Ada sesuatu yang membuncah di dalam diri kami, 5 pemuda Indonesia di tengah pertempuran itu. Perasaan ingin merdeka. Dan amarah terhadap penjajah-penjajah dari Eropa itu. Kuat sekali. Bahkan rasanya, seluruh ledakan di tengah peperangan itu pun akan kalah keras jika perasaan dan semangat kami berlima disatukan dan meledak saat itu.
“DAHLAN! Mundur, Dahlan! Awas sisi kirimu!”, teriak Wisman, sahabatku sesama prajurit TNI.
Aku refleks mundur, mengalihkan serangan senapan laras panjangku ke arah yang disebut. Tepat mengenai dada dua serdadu Belanda.
“Wisman, Dahlan! Kawan-kawan kita sudah berjatuhan. Amunisi sudah menipis! Kita bisa mati konyol dengan pertahanan selemah ini, tahu kau?!”, teriak Rudy.
“Hei, Wisman…benar apa kata Rudy. Kita terkepung sekarang. Harus cari bantuan, berlindung sementara di desa terdekat, menyusun strategi perang yang baru.”, ujarku sambil mengawasi sekitar kami.
“Apa…apa kita masih mungkin kembali ke markas?? Aku rasa…aku rasa…kita bisa kalah. Kita butuh makanan, senjata, kita butuh…”
“Cukup, Ritno! Kita pejuang! Ini resiko yang harus kita tanggung. Kalau kau panik dan manja seperti ini, mana bisa kau melindungi bangsa ini?!”, potong Rudy.
Kasihan Ritno. Bagiku, dia masih terlalu muda untuk turun ke medan sekeras ini. Usianya belum genap 15 tahun, termuda di kesatuan kami. Ada raut kecewa di wajahnya setelah disentak Rudy seperti tadi.
“Sudah, sudah…jangan bertengkar seperti ini. Aku setuju dengan kalian berdua, kita harus segera mundur dari sini. Sambil jalan, kita cari tentara lain yang masih sanggup bertempur. Maaf, Ritno…tapi aku rasa kita tidak bisa kembali ke markas. Terlalu berbahaya, Belanda pasti sudah mengepungnya”, jawab Wisman, mencoba menenangkan kami di antara desingan peluru.
Kami mencari celah aman di antara kepungan musuh. Terlihar ada jalur di balik pepohonan yang nampaknya masih aman. Aku, Ritno, Rudy – dan Wisman di depan kami, bergegas beriringan menuju ke sana. Baru beberapa langkah, tiba-tiba terdengar teriakan tentara Belanda.
Ritno memutar langkah. Panik, menembakkan senjatanya membabi buta ke arah tentara Belanda. Beberapa di antara mereka akhirnya tumbang.
“RITNO!! AWAS….!!”, teriakku.
Belum sempat Ritno menoleh, sebuah peluru meluncur cepat, tepat mengenai ulu hatinya. Aku gemetar marah, melihat salah satu sahabatku terluka oleh tangan-tangan Belanda. Ada 4 atau 5 tentara di dekat kami. Aku dan Wisman menembaki mereka. Rudy yang kehabisan peluru, membidikkan belatinya ke tubuh salah satu serdadu. Kemudian berlari menghampiri Ritno.
“Bangun, Ritno! Kau pasti kuat!!”, katanya sambil mengguncang tubuh kurus anak itu.
“Maaf, Rudy…kau benar, aku belum mampu melindungi bangsaku…?”, jawabnya lemah.
“Tapi kau berhasil melindungi kami, Ritno! Demi Tuhan, kuatlah!!”, teriak Rudy.
“Terimakasih, Rudy…kau tahu saja cara membesarkan hatiku”, kata Ritno lemah.
Dengan sisa tenaga yang ia miliki, diulurkannya lengan lemah itu ke bahu Rudy, sambil dinggenggam dengan susah payah.
“Merdeka, bung…”, seulas senyum lemah mengiringi kata-kata Ritno yang dibisikkan dalam helaan nafas terakhirnya.
Genggaman tangan Ritno terlepas dari bahu Rudy. Ia meraung, lalu bergegas meraih senjata Ritno. Aku bisa merasakan mataku memanas, saat melihat sebutir air mata menetes di pipi Rudy ketika ia bergabung dengan kami, menembaki tentara Belanda yang kembali berdatangan.
Aku tiarap menghindari musuh. Dapat kulihat bahwa peluruku hanya tertinggal sebutir lagi. ‘Nyawa’ terakhirku. Kutembakkan tepat ke arah salah satu serdadu terakhir yang ada di dekat kami. Dalam hati, aku, Dahlan Suryoningrat, bersumpah anak cucuku tidak boleh berada di medan pertempuran yang sama, dengan senjata yang sama dengan kami saat ini. Negaraku harus bebas!
***
Washington DC, 2013
“Bisa kita bayangkan, teman-teman sekalian. Jika Indonesia berani memanfaatkan sumber daya alam kita tanpa campur tangan pihak asing, tentunya negara kita bisa jauh lebih makmur dari sekarang. Untuk apa membiarkan orang-orang asing mengeksploitasi resources di negeri kita sendiri, kalau kita bisa mandiri mengolahnya. Lihat Korea Selatan, kemerdekaan mereka bahkan jauh setelah kita, tapi Industri mereka maju pesat. Lantas kita??”
Kubiarkan kalimatku menggantung di sesi diskusi ini, mengajak mahasiswa Indonesia yang menjadi audiens di hadapanku mengeksplorasi pikiran mereka. Aku diminta Persatuan Mahasiswa Indonesia di Amerika untuk mengisi kuliah umum dalam rangka Hari Pendidikan. Auditorium KBRI pun penuh oleh wajah-wajah muda yan begitu antusias dan tampak penuh optimisme. Orang-orang berotak cemerlang yang nantinya bisa menjadi tumpuan bangsa Indonesia.
“Pak Reza! Kita masih susah move on karena masih dijajah bangsa asing di era modern ini. Indonesia seperti kekurangan amunisi saat ini”, kata seorang dengan tindikan di bibir dan telinganya, bersemangat dan bergaya slengean.
“Maaf, dik…tadi kamu lupa sebut nama. Nama dan asal kampusnya?”, tanyaku lembut
“Oh…hehe. Maaf, pak. Dylan Hartanto, University of DC. Terimakasih sebelumnya, Pak…”, jawab anak itu.
Aku tersenyum, “It’s OK, Dylan. So, kamu tadi bilang ‘amunisi’…bisa dijelaskan ke kami semua?”
“Amunisi yang saya maksud itu, ya generasi muda Indonesia, Pak. Indonesia, menurut pendapat pribadi saya, kekurangan human resources yang mampu me-manage sumber daya alam yang begitu berlimpah. Anak muda Indonesia itu ratusan juta, tapi yang berpendidikan dan memiliki kemampuan mengatur ‘harta’ bumi pertiwi, nggak cukup banyak, Pak. Mungkin karena pendidikan, apa lagi perguruan tinggi, masih jadi barang mewah bagi sebagian besar rakyat Indonesia.”,terang Dylan dengan mata berbinar.
“Good point, Dylan! Ada lagi yang lain?”, aku tersenyum lebar. Dylan kembali duduk sambil membungkuk hormat pada para penonton yang bertepuk tangan, seolah sedang menjadi bintang di panggung Broadway.
Seorang gadis manis berkerudung lalu berdiri sambil mengangkat tangannya.
“Assalamualaikum, saya Vanya dari Georgetown University, Pak. Menurut saya, Indonesia itu masih sulit maju, karena di samping rakyat, masih ada oknum pemerintahan yang memanfaatkan kekayaan bangsa ini untuk kepentingan pribadi mereka. Sama seperti dulu saat masa penjajahan, ada pribumi yang berkhianat agar mendapat keuntungan lebih dari penjajah. Saat ini, budaya itu pun masih ada, Pak. Terimakasih..Wassalamualaikum ”
Kami menjawabnya salamnya, dan Vanya kembali ke tempat duduknya.
“Terimakasih, Vanya. Itu juga point penting yang harus kita garis bawahi …So, anyone else?”, kataku sambil tersenyum, mengacungkan tangan, memancing jawaban cemerlang lain ke permukaan.
“Hasil karya anak bangsa sendiri kadang masih kurang dihargai, pak!”
“Fasilitas pendidikan dan self improvement untuk rakyat masih kurang, padahal itu bermanfaat bagi rakyat kecil lho, pak.”
“Nggak maju-maju, soalnya budayanya yang penuh birokrasi dan susah on time”
“Kebanyakan wakil rakyat yang gabut kali, pak…”
Dan beragam jawaban lain. Seketika ruangan ini riuh rendah dengan lontaran jawaban. Aku tersenyum bangga. Kemudian, aku mengangkat kedua tanganku untuk meredakan suasana.
“Wow…banyak sekali jawaban brilian di sini. Saya bangga dengan kalian. Give a random applause buat kita semua, teman-teman..”
Riuh tepuk tangan mengiringiku. Lalu aku melanjutkan, “Baik, semua jawaban dari teman-teman tadi, ada benarnya. Memang ada masalah krusial yang sedang dialami bangsa kita saat ini. Kita memang tidak lagi dijajah dengan perang senjata terang-terangan. Tapi sumber daya kita, identitas bangsa kita lah yang diserang. Dulu, nenek moyang kita bertempur bersenjatakan bambu runcing, tank baja, senapan, dan granat. Sekarang, eranya sudah lain. Bangsa Indonesia itu, kalau mau benar-benar merdeka harus memegang tiga senjata. Senjata yang pertama, literally senjata yang digunakan para pejuang dengan semangat kemerdekaan dan perjuangan untuk menaklukkan para penjajah. 2 senjata lagi, modal kita untuk menang dalam pertempuran di masa kini. Ada yang tahu?”
Aku menatap bangga mata-mata cemerlang di hadapanku. Seolah mendapat tumpuan untuk membangun negeri ini. Almarhum ayahku, Jendral Dahlan Suryoningrat, pernah bercerita tentang sumpahnya di tengah Agresi Militer Belanda pertama. Beliau yang menceritakan padaku tentang sejarah senjata pertama para pejuang, dan membekaliku dengan dua senjata lain yang harus aku gunakan dan sebarkan sebaik mungkin. Memecah keheningan, aku kemudian memberi para mahasisiwa ini jawaban atas pertanyaanku sendiri. Menyebarkan senjata Ayahku.
“Pendidikan, dan agama yang berhati nurani, teman-teman. Camkan itu, untuk kemajuan bangsa kita. 3 senjata yang tadi saya sebutkan itu, yang telah melahirkan dan akan membesarkan serta memajukan Indonesia. Manfaatkanlah sebaik mungkin”, pungkasku.