Tombol Pengingat

Tik..tok…tik…tok…Jam menunjukkan pukul 1 malam. Tapi kelopak mataku masih betah terbuka. Menatap layar yang sama. Sudah aku pandangi bolak-balik dari berjam-jam yang lalu. Dari beberapa hari yang lalu. Menunggu pesan  dari orang yang bahkan aku pun tak tahu di belahan bumi mana dia sekarang. Tanganku perlahan mulai memainkan kalung di leherku, terlempar ke waktu dulu.

* * *

Hampir 2 tahun Mario menjadi pacarku. Dia seniorku di kampus. Kami tergabung di organisasi kemahasiswaan yang sama. Di situlah awal pertemuan kami. Mario aktivis kampus, populer, berotak encer, dan good looking. Aku, mahasiswi baru yang beruntung mendapatkan si cowok most wanted ini. Mario selalu menghujaniku dengan perhatian yang luar biasa, membuatku merasa sangat spesial dan membuat gadis lain cemburu. Oh, dan membuat ban mobilku jadi korban keganasan fans fanatik Mario di awal kami pacaran dulu.

Yah, tapi itu dulu. Dulu, sebelum dia lulus dengan gelar cum laude lalu karirnya melesat di sebuah perusahaan IT berskala multinasional. Sebelum dia menjadi that it guy, yang seringkali membuatku merasa seperti rice cooker di sebelahnya. Ya, seperti rice cookeryang dihampiri saat mau makan, atau menanak nasi. Seperti itulah perubahan sikap Mario. Dia akan muncul tiba-tiba saat dia butuh teman untuk refreshing dari suasana kantor. Sisanya? Well, ajaib sekali jika dia tiba-tiba saja mengontakku lebih dulu, menanyakan kabarku, dan hadir di waktu-waktu injury time saat aku membutuhkannya.

Apa yang membuatku mau bertahan dengan kondisi seperti ini selama hampir setengah masa pacaran kami? Simply karena dia laki-laki yang baik, bisa bertanggung jawab, dan mengayomi. Dia berubah seperti sekarang mungkin karena tekanan pekerjaannya. Atau mungkin karena dia sibuk dengan target-targetnya sendiri. Terdengar naïf memang. Tapi begitulah. Yang pasti, janji-janjinya untukku cukup membuatku bertahan.

Katanya, es batu bisa dilelehkan oleh api dari sebatang lilin. Aku percaya kalau Mario nantinya akan bisa aku luluhkan kembali dengan kesabaran dan kehangatan sikapku. Hanya saja, aku tidak tahu seberapa besar bongkahan es yang harus aku lelehkan dengan lilin yang aku punya. Tapi, aku tidak akan menyerah. Aku masih mau mengembalikan lagi cerita kami yang sudah lama aku rindukan. Paling tidak, kenangan itu menjadi kekuatanku selama ini untuk bertahan dan mengingat siapa Marioku dan seperti apa kita dulu.

* * *

Marioku malam itu ‘kembali’. Dia mengajakku candle light dinner di sebuah café  romantis tempat dia dulu pertama kali menyatakan perasaannya. Dan saat ini, tangannya menggenggamku erat, seakan sudah cukup menjadi ‘obat’ untuk rasa hampaku selama ini.

“Kok kamu tumben banget ngajak aku ke sini? Kita kan nggak lagi ada ultah atau anniversary?”

Mario tersenyum simpul, lalu menarik sebuah kotak merah dari saku blazer-nya. Dia membukanya, dan terlihat kalung berliontin kupu-kupu yang sayapnya membentuk tulisan “MI” – Mario & Ivanka.

Mataku berbinar melihatnya. Dia lalu memakaian kalung itu, sambil berkata, “Iv, kalung ini akan selalu jadi ‘tombol pengingat’ kalau kamu kangen sama aku. Biarpun kamu nggak bisa lihat aku, tapi aku selalu ada buat kamu, dengan caraku sendiri.”

Aku memandangnya bingung. “Maksud kamu apa, Mario? Kok ngomongnya gitu?”

Mario menghela nafas panjang. Ada pancaran sedih di matanya. dia memelukku, lalu berkata, “Iv, maaf…tapi aku harus ninggalin kamu. Aku dipromosikan. Yah, naik pangkat…tapi aku harus dipindahkan ke kantor yang di Singapur. Bulan depan aku berangkat, dan aku belum tahu berapa lama aku di sana”

Susah payah aku menahan air mata, akhirnya pipiku basah juga. Marioku, dia akan benar-benar membuatku merasa sendirian. Tapi akhirnya aku memaksakan seulas senyuman, lalu menggenggam tangannya dan berkata, “Yaudah, nggak apa. Kamu tau apa yang baik buat kamu…berangkat aja, Mario. I’ll wait for you here”

Wajah Mario seketika berubah. Ada sedikit rona bahagia, walaupun masih ada mendung di situ, “Serius, kamu gak apa-apa, Iv? Maafin aku ya…thanks”, katanya sambil mencium keningku.

*  * *

Liontin pemberian Mario sampai sekarang menjadi ‘tombol pengingat’ untuk memutar lagi semua kenangan indah yang membuatku dapat bertahan sampai sekarang dengan mengingat saat bahagia kita. Seakan ada emosi yang sangat kuat kami simpan di situ.

Mataku sudah berat saat ini, menuntut istirahat. Sudah hampir jam 1 malam. Aku kembali menatap handphone ku. Otakku berjalan pelan menyuruh tanganku menyentuh ikon Line. Mengirim pesan ke Marioku.

Tiba-tiba aku terhenyak. Seakan-akan ada seseorang memantik memori lain dari ingatanku. Aku menyentuh liontinku lagi. Pesan singkat itu. Janji itu. Berita itu. Kabar itu. Tatapan mata, dan genggaman itu…Mataku terpejam. Mendadak aku sadar.

Mario tidak akan menghubungiku lagi. Tidak akan ada ada lagi email manis darinya. Tidak, dia tidak akan pulang lagi. 6 bulan setelah Mario di Singapura, dia memang pulang untuk liburan sebentar. Semalam sebelumnya, dia mengabariku lewat videocall. Aku yang menjemputnya di bandara. Aku juga yang melihat langsung pesawat yang ditumpanginya gagal mendarat, dan terbakar 500 meter dari landasan udara. Aku yang menemaninya di ambulans dalam perjalanan ke rumah sakit. Aku yang mengabari keluarganya di Medan untuk segera datang. Dan aku ada di sana saat Mario menghembuskan nafas terakhirnya…

Makasih kamu udah nunggu aku. Tapi maaf aku harus pergi lagi. Janji ya, kamu akan bahagia biarpun nggak ada aku. Makasih buat semua yang udah kamu kasih buat aku. Aku akan selalu ada buat kamu dengan caraku sendiri. Tombol pengingat itu buktinya, My Love, Ivanka…”

Itu kata-kata terakhir yang Mario ucapkan di antara alat-alat penunjang hidup dan grafik elektrokardigraf yang semakin rendah frekuensinya.

Ya Tuhan…ini sudah hampir setahun sejak dia pergi. Sejak aku mengantarnya ke peristirahatan terakhirnya. Rupanya selama ini aku terlalu rapuh untuk mengikhlaskannya, hingga aku asyik hidup di dalam kenangan bersama Mario.

Aku terisak, terlalu cepat rasanya Mario pergi. Aku masih membutuhkannya. Tanganku kembali berpindah ke liontin itu. Mario pasti tidak ingin aku seperti ini. Dia pasti ingin aku move on. Dia ingin hidupku kembali ceria seperti dulu lagi. Dia ingin aku merelakannya agar ia tenang di sana. Dia ingin aku menyimpan tombol pengingat ini untuk memberiku kekuatan, mengingatkanku akan cinta, dan mengingatkanku akan bahagia. Bukan hidup mengawang-awang seperti ini.

Maka malam itu, aku menyentuh sekali lagi liontin Mario. Merasakan semuanya, marah, kesal, bahagia, cinta, bangga, sedih, kecewa, dan semuanya. Tombol kenangan ini menyelamatkanku dari masa-masa sulitku. Dan aku tahu, Mario selalu ada untukku dengan caranya sendiri.