Dream Monster
5 Agustus 20**
Saat ini kota ku mempermasalahkan masalah baru… Kekacauan baru, tepatnya… Dimana para alien atau monster aneh menyerang dunia… Sudah ada penelitian, bahwa monster-monster aneh tersebut aslinya adalah manusia… Sudah terbukti… Guru sekolahku terkena penyakit ini… dan tewas karena ini…
8 Februari 20**
Sora, seorang laki-laki remaja berjalan di sepanjang trotoar jalan, sambil melihat-lihat keadaan kotanya yang sudah hancur gara-gara adanya penyakit aneh yang membuat manusia menjadi monster aneh. Nama penyakit itu adalah ‘Yume Oni’ atau ‘Dream Monster’, karena menyerupai monster-monster yang ada di mimpi buruk anak-anak.
Sora P.O.V
“Aku merasa dunia semakin aneh…” komentarku dalam hati ketika melihat seorang pria memakai jas biru terkapar di jalan dalam keadaan tidak bernyawa. Aku tidak bisa melihatnya jelas, karena aku tidak ingin melihat luka-lukanya yang mengerikan ada di tubuhnya.
“…sudah 9 tahun, penyakit ‘Yume Oni’ masih saja ada… what’s wrong with these people…” gumamku sambil memandang kota ini.
“SORA!” tiba-tiba ayah dan ibu datang membawa mobil berwarna putih dan berteriak memanggil namaku. Aku segera memasuki mobil itu, dan mobil melaju cepat.
“Sora, kamu tidak apa-apa? Kamu dari mana saja?” Tanya ayah khawatir kepada ku. “Watashi… daijoubu desu…” jawabku agak pelan. Ya kan? Aku baik-baik saja… Buktinya, aku tidak diserang apapun…
“Cepat masuk, nak… kota ini mulai tidak aman…” perintah ibu ku sambil mendorongku masuk ke mobil.
“Mom, aku bisa masuk sendiri…” kataku sambil memasuki mobil dan duduk di bangku belakang. “Baguslah, Sora…” komentar ibu sambil tersenyum. Aku tersenyum lemah sebagai balasannya.
Aku sempat melihat tangan ibu yang diulurkan kepadaku. Whoa! Banyak bola mata yang menempel di tangannya! Apakah ibu terkena penyakit Yume Oni?!
Jangan bilang padaku, bu…
“Ibu… T-terkena penyakit Yume Oni?” Tanya ku gugup melihat tangan ibu menjadi menyeramkan.
Ibu tidak menjawab pertanyaanku. Ibu hanya diam mendengar pertanyaanku. Sepertinya memang IYA. Penyakit aneh ini memang gampang tersebar begitu saja.
“Tidak perlu penjelasan lanjut lagi, Sora…” komentar ayah sambil menjalankan mobilnya.
“Dad, aku hanya khawatir kalau Mom terkena Yume Oni…” sahutku agak khawatir. Wajahku memucat karena ayah dan ibu ku lagi-lagi menutupi masalah ini.
“Jangan sedih, Sora… aku tahu kakakmu, Vanitas, pindah kota karena tragedi ini, dan hanya kamu saja yang mau bertahan hidup di kota ini… Tapi, mom akan baik-baik saja…” kata ibu sambil menenangkan ku.
“Aku hanya berharap kak Vanitas baik-baik saja… aku rindu kak Vanitas…” gumamku agak membisik.
Ayah dan ibu membawaku ke sebuah apartemen 50 lantai, dan menurunkan box-box untuk ditaruh di kamarku. Ayah bilang aku tidak boleh keluar apartemen, karena penyakit Yume Oni makin lama makin menggila di luar sana…
Ayah memberiku obat (ah, mungkin Nark*ba) dan katanya itu obat untuk mengurangi penyaki Yume Oni. Awalnya, aku tidak mempercayai perkataan ayah, tapi yah, mau apa lagi, coba? Terpaksa aku menerima obat yang aku tahu itu adalah obat yang berbahaya untuk kesehatanku.
“Maafkan mom, Sora…” kata ibu sambil memeluk ku dari belakang, lalu ikut ayah pergi keluar kamar. Aku merasa heran kenapa ibu meminta maaf kepadaku, dan ternyata, mereka berniat untuk MENGUNCIKU DI KAMAR KECIL INI!
“DAD!” Seruku sambil berlari ke arah pintu. “Sora! Sudah kubilang, jangan!” seru ayahku sambil mendorongku lalu mengunci kamarku dari luar.
“DAD!” teriakku sambil memukul-mukul pintu kamarku. Air mataku keluar dan membasahi pipiku.
“Kumohon, dad! mom!” teriakku sambil berlutut di depan pintu. Kepalaku menunduk dan dua tanganku menempel di pintu. Air mata mulai turun deras.
Tiap hari, aku hanya membuang waktuku untuk menulis buku diari, tidur, dan meminum obat yang ayah berikan. Rasanya aku ingin segera keluar dari kamar ini, melihat wajah ibu dan ayah… Dan kak Vanitas, yang terutama…
Siang menjelang sore, aku pun bangun dari tidurku yang menyiksa tubuhku. Aku rasa aku terkena demam, karena suhu tubuhku cukup panas, dan aku berkeringat.
“Ah, jangan-jangan aku sakit… Hm, lupakan…” komentarku dalam hati.
Aku memutuskan untuk keluar dari kamar menuju balkon, yah, sekedar mengganti udara. Aku melihat ada satu apartemen lagi di seberang sana. Apartemen itu berwarna ungu tua yang mulai memudar, dan sepertinya apartemen itu tidak diurus sama sekali.
“Ah, siapa?” tiba-tiba pandanganku terbawa oleh 2 orang di balkon apartemen itu. Satunya melambaikan tangan dengan sangat semangat dan berteriak memanggil namaku, satunya mengibarkan bendera hijau dengan logo rumah sakit (tanda plus) berwarna putih.
“Soraaaaa! Soraaaaaa!”
“Roxaaaas! Axeeeeel!” balasku sambil membalas lambaian mereka dari jauh. Aku merasa teman-temanku, Roxas dan Axel juga dikurung karena tidak ingin terkena penyakit Yume Oni.
“Soraaaa! Kapaaan kitaaa bisaaa berteemuu lagiii?!” seru Roxas dari balkon apartemennya. Aku bisa mendengar suaranya meskipun sayup-sayup.
Sora, kapan kita bisa bertemu lagi?
“… Sampai obat khusus penyembuh penyakit Yume Oni berhasil ditemukan, Roxas…” jawabku setengah berbisik. Aku tidak bisa menentukan kapan obat itu ada, yang penting, setelah penyakit Yume Oni berakhir… aku pasti menemuinya!
7 Maret 20**
Aku mengisi waktu ku dengan bermain PS4 di kamarku. Yah, game Kingdom Hearts 3. Meskipun sudah lama ada, tapi tetap game ini masih populer di kalangan remaja, bahkan orang tua pun suka bermain game Square Enix terpopuler ini,… Aku sudah bosan bermain game Sengoku Basara Heroes 4, ha ha ha…
Tiba-tiba, gagang pintu kamarku diputar… Aku segera meng save game ku supaya akau tidak mengulangi dunia Twilight Town, lalu aku mematikan PS4 ku…
“Dad! Mom!” teriakku bersemangat, lalu memegang gagang pintu kamar apartemenku.
Kriet…
Bukan ayah maupun ibu yang ada di depan pintu, maupun ada ‘sesuatu-yang-menyeramkan’ yang ada di depanku, dan menghalangi jalan.
Melihatnya, aku pun jadi lemas. “Mom… Dad… ” gumamku lemas saat melihat ‘sesuatu’ itu di depanku. Aku langsung menutup pintu secara kasar dan bersandar di pintu itu. Apa itu? Aku tidak tahu.
Sora, vos parents sont morts de la maladie Yume Oni…
Il ya 30 jours..
Wajahku semakin memucat ketika kalimat itu ada di otakku.
“Tewas…” kataku mengulangi kalimat itu.
“Kenapa… harus orang yang ku cintai… tewas… tanpa sepengetahuanku… 30 hari yang lalu… waktu ulang tahunku…” kataku terbata-bata.
Tiba-tiba aku mendapat sesuatu di otakku. Otomatis, aku berjalan ke arah meja belajarku dan membuka laci kecil. Aku menemukai sebuah pisau dapur di dalamnya, terlihat baru, tidak pernah dipakai.
Aku mengambil pisau itu, dan menggenggamnya erat. Tubuhku langsung menggigil, dan otakku rasanya ingin meledak sampai hancur. Kenapa harus TERJADI?!
“AAAAAAAAHHH!” Teriakku marah bercampur aduk dengan kecewa dan sedih.
Kamarku menjadi kapal pecah setelah aku mengubrak-abrik kamarku sendiri secara gila dengan pisau dapur itu. Aku tidak bisa menguasai diriku. Hah, salah! ‘MEMANG’. Mau siapa lagi yang harus tewas di hadapanku?!
Jangan…
Jangan mereka…
Terutama dia…
9 April 20**
Hujan deras mengguyur kotaku… Aku tidak berani keluar dari kamar menuju balkon, karena aku takut sakit, dan aku tidak punya obatnya… lalu…
Aku begadang karena memikirkan kedua orangtua ku. Mataku terdapat kantung mata, yah, begadang, kan?
Pisau itu masih saja ada di tanganku, serasa seperti aku ingin membunuh siapa saja yang berani mengurung di dunia sempitku ini. Aku sedikit mengintip keluar balkon, dan pandanganku beralih ketika melihat Riku dan Kairi berada di balkon apartemen Roxas dan Axel sambil membawa payung.
Mataku terasa berat, dan aku pun tertidur sambil menyandar pintu kaca balkon. Tapi, aku masih mendengar teriakan samar mereka, “Soraaa! Keluarlaaaah! Soraaaa! So…”
10 April 20**
“… Ah… aku terkena penyakit Yume Oni..” gumamku lemas sekali melihat kedua telapak tanganku terdapat 2 bola mata tiapnya.
Obat pemberian ayahku tidak berhasil menjadi tameng supaya aku tidak terkena penyakit Yume Oni. Tuh kan, aku tidak mempercayai perkataan ayahku soal obat ini.
“Waktuku tinggal sebentar lagi…” kataku sambil melihat keluar jendela. Makin banyak saja monster-monster yang ada di kotaku. Aku tidak ingin tinggal bersama kakakku di kota lain, tapi aku juga tidak tega meninggalkan ayah & ibu di kota ini. Plus, pekerjaan ayahku belum selesai di sini. Ibu juga harus tinggal di kota ini.
Esok harinya, 11 April 20**
Aku menumpuk kardus-kardus yang ada di kamarku menjadi sebuah tangga kecil, pas sampai di pagar balkon. Kalian masih ingat bukan, kalau aku menyimpan kardus-kardus besar di balkon dan kamarku?
Pagi hari…
Aku sempat melihat ke bawah, dan dari jauh aku bisa melihat seperti teman-temanku yang sudah terkapar tidak bernyawa di tanah, dalam keadaan terkena penyakit Yume Oni. Aku melihat keadaan Roxas yang benar-benar 20% lagi sudah menjadi Yume Oni.
Aku merobek pakaianku, sehingga dadaku terlihat seperti ada 5 mata yang menempel. Memang, aku terkena penyakit Yume Oni…
“gomenasai…” kataku sambil menaiki tangga kardus yang ku buat. Sampai di atas pagar balkon, aku menutup mataku, siap untuk mengakhiri hidupku dan meninggalkan semuanya tanpa ada rasa bersalah.
Aku pun terjun ke bawah apartemen 50 lantai itu. Tiba-tiba, aku jadi teringat masa-masa dimana penyakit Yume Oni belum menghantui kota ku…
.
“Sora, ayo kita main basket bersama!”
“Sora, jangan melamun! Ayo, kita kerjakan ini bersama!”
“Sora, kalau ada apa-apa, cerita saja! Jangan malu!”
“Sora, nanti kita main skateboard di mana? Mau lawan aku, tidak? Hehehe…”
“Sora… Jangan tinggalkan kami! Kami salah apa?! Kami kan hanya bercanda! Yak an, Riku?”
“Sora…”
.
Roxas… Axel… Kairi… Riku… teman-teman… maafkan aku…
Normal POV
Brakk!
Kepala Sora mengeluarkan darah yang cukup banyak karena bocor, dan tinggal 60 detik lagi, Sora tewas. Mata Sora berkunang-kunang saat melihat ke langit.
“Aku masih hidup, tapi tinggal beberapa detik lagi..”
Sora berusaha mengangkat tangannya ke langit, berusaha mencapai sesuatu.
Tiba-tiba, ada seorang remaja lain yang 100% mirip dengannya menekuk lututnya, sambil mengulurkan tangannya untuk mendapatkan tangan Sora.
“Kamu memang bodoh, Sora… tapi kamu memilih jalan yang benar…” kata remaja itu sambil tersenyum. “Semua teman-temanmu tewas karena penyakit Yume Oni… dan kamu adalah yang terakhir…” lanjut remaja itu tertawa lebar.
Mendadak, Roxas, Axel, Kairi, Riku, dan sahabat-sahabat lainnya berjalan menuju remaja itu. Roxas dan Riku menekukkan lutut mereka lalu tersenyum ke arah Sora. Semua sahabat Sora tersenyum. Dan, mereka terlihat normal… tidak seperti terkena penyakit Yume Oni.
Sora menyadari, bahwa hidupnya akan berakhir 10 detik lagi. “Baka nee, baiklah, ayo kita akhiri ini… m’kay?” kata remaja itu sambil menggenggam tangan Sora.
The End
Cerpen Karangan: Nikita Ilona Matakupan
Blog: www.nikitamatakupan.com