The Power of Mindfulness
Ketika kita "sadar" akan pikiran (batin) dan tubuh di saat ini, kita berada di momen saat ini, bukan di masa lalu maupun masa depan, sehingga kekotoran batin (kilesa) tak mampu mengendalikan kita. Inilah kekuatan sadar penuh (mindfulness).
Sepulang dari ikt pembelajaran Abhiharma, naik busway bersama teman baru. Sebelumnya ia bukan Buddhist. Dia masuk Buddhist karena menurutnya Buddhism sesuai dengan realita kehidupan dan mampu menyikapi hidup lebih bijak.
Kenapa mau meditasi, kenapa mau belajar Abhidharma? Ia bertanya ke saya. Ya, kami pun bincang2 mengenai buddhism di dalam busway. Amazing!
Memang karena jodoh juga kita bisa mengenal dan mempelajari Buddhism. Karena dibandingkan dengan banyaknya makhluk di dunia ini, hanya sedikit yang mampu memahami dan menembusnya. Seperti halnya burung-burung yang terperangkap dalam jaring, hanya sedikit yang mampu terbang dan terbebas dari jaring tersebut.
Selain itu, tingkat pemahaman orang berbeda2. Ada yg langsung mengerti, adapula yang mesti dijelaskan secara rinci. Adapula yang langsung antipati. Ya demikianlah berbagai macam karakter pemahaman orang berbeda2.
Kl kamu ditanya spt itu, apa jawabanmu?
Diantara kita punya jawaban masing2.
Baiklah saya akan membahas kenapa saya meditasi?
Saya hanyalah manusia biasa yang masih mengejar kesenangan duniawi. Ya, hampir sama seperti orang pada umumnya. Saya menyadari kesenangan duniawi ini tidak kekal. Namun, seolah-olah kita terhipnotis untuk terus mengejarnya walaupun kita menyadari sifatnya yang sementara. Saya rasa diantara kita juga mengalaminya.
Lagi-lagi saya memang berjodoh dengan Buddhism. Saya membaca buku2 Dharma dan itu memang sesuai dengan yang saya alami, problema kehidupan yang juga dialami oleh makhluk hidup lainnya. Saya membaca, saya mendengar Dharma, dan itu pas dan sesuai. Saya bisa menerima ajaran Buddha ini. Mengenai hukum kamma, mengenai lahir, tua, sakit dan mati, dsb. Memang kenyataan hidup yang kita hadapi. Entah kamu berasal dari agama, ras, suku apapun, kamu menghadapi kebenaran itu. Buddha telah membabarkan dan menunjukkan jalannya. Jika kamu mau menutup mata akan kebenaran ini, kamu juga akan mengalaminya. Karena ini bersifat universal!
Lalu, kenapa saya meditasi?
Untuk menguak realita kehidupan ini. Ada jawaban kehidupan yang tidak dapat ditemukan di google. Dan memang kita sendiri yang harus menembusnya. Saya hanya merenung saja. Pangeran Siddhartha mencapai keBuddhaan dengan bermeditasi di bawah pohon Bodhi. Namun sebelumnya pangeran juga telah menyempurnakan paramiNya. Para siswa sang Buddha pun juga berlatih pengendalian diri dan samadhi (meditasi).
Begitupula dengan orang-orang yang telah mencapai kesucian dahulunya berlatih dengan mengendalikan diri (berpuasa) dan bersemedi. Tidak hanya dalam buddhism saja, namun di kepercayaan lain juga menganjurkan umatnya berlatih seperti itu! Inilah yang mendorongku untuk bermeditasi. Apakah Anda tidak bertanya-tanya kenapa orang zaman dulu banyak yang pergi menyepi dan bertapa? Pertanyaan ini muncul dalam benak saya. Sehingga saya mengambil kesimpulan bahwa kita harus membina diri untuk mencapai tingkat kesucian.
Saya juga sama seperti kebanyakan orang pada umumnya yang masih tergiur akan kesenangan duniawi. Saya merasakan bahwa hidupku selalu mengejar-ngejar kesenangan indrawi. Namun, kesenangan itu bersifat semu. Saya merenung, pasti ada kebahagiaan yang lebih tinggi daripada pengejaran nafsu tanpa akhir ini! Dan Buddha telah menunjukkan problema kehidupan ini dan Jalan untuk keluar darinya! Sesuai dengan realita yang saya dan semua makhluk hadapi.
Ketika kita menekuni praktik latihan ini, energinya memang berbeda. Suatu energi batin yang tenang, murni, seolah2 'kesadaran' sedang bercahaya. Hal ini diibaratkan kita berada di ruangan gelap dan kita menggunakan lampu senter untuk menerangi ruangan sehingga kita bisa melihat benda-benda di dalam ruangan tersebut. Demikian pula kita perlu melihat segala fenomena internal maupun eksternal melalui cahaya samadhi kita, sehingga perlahan-lahan mengembangkan pengetahuan langsung (insight).
Tidakkah kau merasa bahwa kita ini sesungguhnya berputar-putar saja? Lahir-mati, lahir-mati terus menerus?
Inilah yang menimbulkan keterdesakan batin (samvega) untuk segera membebaskan diri dari lingkaran tanpa ujung. Mengingat kehidupan sebagai manusia tidaklah bertahan lama, bahkan jika kita berumur panjang pun, kita juga mengalami penuaan dan sakit. Apakah Anda tidak takut? Mau sampai kapan kita terlahir terus? Oleh karena itu, jangan lagi menunda. Ketika kita masih muda dan sehat, kita punya byk energi untuk berlatih. Apapun kondisimu saat ini, berlatihlah sekarang juga! Ntah sedang sehat atau sakit, apakah masih muda atau sudah tua. Tetaplah berlatih setiap saat!
Suatu ketika waktu saya masih kecil (antara umur sekolah dasar), saya sudah merenung kalau saya mati, saya akan kemana? Saya merasa kematian itu adalah misteri. Setelah kehidupan ini saya akan kemana? Bagaimana rasa atau proses kematian itu? Waktu kecil aku sudah memikirkan hal seperti ini dan saya percaya adanya neraka dan surga.
Beralih ke pertanyaan kedua, kenapa saya mau belajar Abhidharma?
Untuk memperluas pengetahuan dan kita semakin memahami bahwa segala sesuatu ini hanyalah tidak kekal (anicca), tidak memuaskan (dukkha), dan tanpa diri (anatta).
Memang benar adanya. Terkadang kita belajar sesuatu, kita belum langsung mengerti. Tak masalah. Kita belajar dan belajar lagi sampai bisa. Karena apa yang kita pelajari sebelumnya akan menjadi dasar bagi pengetahuan kita selanjutnya. Sampai suatu saat, kita akan memahaminya dan muncul INSIGHT. Hal ini diibaratkan kita merawat suatu tanaman. Kita rajin menyirami dan memberinya pupuk, perlahan2 ia akan tumbuh subur, tumbuh bunga dan mekar.
Mungkin diantara kita belum mengetahui bahwa pengembangan batin (bhavana) termasuk dalam pemupukan kamma baik (kusala kamma). Sehingga masih banyak yang berpikir untuk apa duduk diam seperti itu dan tidak melakukan apa-apa?Karena pada umumnya orang berpikir, berbuat baik itu melalui perbuatan jasmani atau ucapan saja. Adapula yg bertanya-tanya, hanya bermeditasi seperti itu apakah termasuk kamma baik? Ya, tentu saja memupuk perbuatan baik (kusala kamma) melalui batin.
Ketika kita meditasi, kita mengusahakan batin untuk hening dalam artian tidak mengejar-ngejar objek kesenangan indrawi, serta tidak membiarkan pikiran berkelana. Oleh karena itu, kita melatih batin yang lebih luhur sehingga kita juga memupuk kamma baik. Dalam meditasi, kita menutup 5 pintu indria dan mengamati gerak gerik batin kita.
Bahkan ketika kita hanya duduk diam, pikiran berkeliaran sesuka hati, mencari objek kesenangan. Itulah ciri-ciri nafsu! Kita harus segera mengenalinya. Ketika pikiran kita sedang berkelana, segera sadar dan ketahui. Karena jika kita 'sadar' akan pikiran kita yang mengembara, maka pikiran yang mengembara itu terhenti utk sesaat dan otomatis akan kembali pada momen kekinian, momen saat ini.
Ketika kita mulai melamun atau mengkhayal, sebenarnya kita sudah terbawa ke masa lalu dan masa depan. Itu memang sifat alamiah pikiran, tidak mau diam. Sesungguhnya, perhatian atau kesadaran kita melemah, sehingga terbawa arus pemikiran kita sendiri. Dan karena itulah kita perlu melatihnya.
Sifat pikiran memang berpikir, namun dalam meditasi, kita meningkatkan "kesadaran" kita untuk mengetahui apa yang terjadi dalam pikiran kita. Kita hanya cukup sadar dan tahu.
Ketika kita "sadar" akan pikiran (batin) dan tubuh di saat ini, kita berada di momen saat ini. Bukan di masa lalu maupun masa depan, sehingga kekotoran batin (kilesa) tak mampu mengendalikan kita. Inilah kekuatan sadar penuh (mindfulness).
Perlu ditegaskan bahwa meditasi adalah kita SADAR tiap momen. Kebanyakan orang salah kaprah, mengira bahwa meditasi hanya duduk diam dan tidak melakukan apa-apa. Oleh karena itu, disini kita tegaskan bahwa meditasi berarti menjaga kesadaran kita tetap seimbang agar tidak terhanyut akan fenomena yang muncul dan lenyap. Disinilah kita mengembangkan batin, mempertajam dan mengasahnya agar mampu melihat segala fenomena sebagaimana apa adanya.
Karena dalam kehidupan sehari-hari, kita kurang memperhatikan kesadaran atau batin kita, sehingga sering terbawa arus.
Tahukah Anda bahwa masih banyak diantara kita bertindak dilandasi oleh kekotoran batin (kilesa)? Kita bergerak, berbuat berdasarkan kilesa. Kita bereaksi berdasarkan kilesa.
Ketika kita dihadapkan suatu fenomena yang menyenangkan, maka kita bertindak atas dasar keserakahan (lobha). Jika kita bertemu akan suatu hal yang tidak menyenangkan, kita bertindak atas dasar kebencian (dosa). Akar keserakahan (lobha) dan kebencian (dosa) selalu disertai dengan kebodohan batin (moha). Jika tidak ada suatu peristiwa yang menyenangkan atau tidak menyenangkan, maka berarti kita merasakan suatu yang netral, dan kita masih bisa saja jatuh dalam kebodohan batin (moha). Contohnya, kita jatuh dalam rasa bosan, malas, mengantuk, keraguan, dan kegelisahan (batin mengembara atau berkeliaran).
Saat meditasi, kita menghadapi rintangan2 batin seperti yang dijelaskan di atas (nafsu, niat buruk,malas-lembam, kegelisahan-penyesalan, dan keraguan). Kita harus mengatasinya bukan terhanyut, bukan pula melarikan diri. Perhatikan karakteristiknya! Dan segera catat dalam batin dan menyadari kemunculannya.
Mempermudah dalam mengenali karakteristik rintangan batin, sehingga kita lebih cekatan dan sigap dalam mengetahui kemunculannya dan segera langsung mengatasinya. Semoga bermanfaat.
1. Nafsu indrawi, kita mulai mencari-cari objek kesenangan, ketika keinginan kita sudah terpenuhi dan ingin lagi ingin lagi, berarti keinginan sudah berubah wujudnya menjadi kemelekatan.
2. Niat buruk, mulai muncul rasa tidak suka yang akan berhujung pada niat buruk untuk mencelakai, menyakiti, dsb.
3. Malas atau lembam, misalnya mengantuk, tubuh berasa berat. Berbeda dengan orang yang semangat, badan akan terasa lebih ringan dan lincah. Karena batin mempengaruhi tubuh. Dalam hal ini pula, kita dianjurkan tidak makan terlalu banyak, karena menyebabkan tubuh terasa berat dan akhirnya mengantuk. Karena energi lebih digunakan untuk mencerna makanan sehingga oksigen tak sampai ke otak.
4. Kegelisahan dan penyesalan, ciri-cirinya adalah batin tidak mampu fokus pada 1 objek. Terus berkeliaran ke sana kemari. Kita tidak berada pada momen saat ini!
5. Keraguan, batin mulai meragukan dan muncul berbagai pertanyaan, apakah melalui metode ini bisa mencapai pencerahan? Dan keraguan terhadap Buddha, Dharma dan Sangha.
Bukan hanya dalam meditasi saja, namun demikianlah kehidupan kita sehari-hari dilandasi oleh akar buruk (kilesa). Apakah Anda merasakannya juga?
Hanya saja ketika meditasi, kilesa-kilesa ini dengan jelas muncul satu per satu, bergantian, karena kita hanya memberikan perhatian penuh pada batin, dimana kita menutup ke 5 indria kita. Disinilah kita mengikisnya!
Melalui meditasi, kita berlatih untuk tidak langsung jatuh dalam suatu peristiwa atau fenomena yang muncul. Kita tidak pula mengikuti kilesa yang muncul ke permukaan kesadaran kita. Ibarat seorang yang terjun bebas ke jurang. Anda tentu bisa membayangkan bagaimana orang yang sedang terjun bebas tanpa parasut. Oh tidak. Kita tentunya tidak mau mati begitu saja kan? "Mati" disini diartikan sebagai ditaklukkan oleh kilesa. Begitupula orang yang terhanyut dalam suatu peristiwa, kejadian, fenomena, berarti "kesadaran"nya telah "mati" (ditaklukkan oleh kilesa).
Solusinya adalah kita hanya cukup sadar melalui kekuatan perhatian murni (sati) dan kesadaran jernih (sampajanna), tanpa terhanyut ke dalam arus. Hal ini diibaratkan orang duduk di tepi sungai yang arusnya deras, ada ikan2 yang berenang, ada sebatang kayu yang hanyut, ada dedaunan yang terbawa arus. Orang itu hanya mengamati apa yang muncul dan berlalu di sepanjang arus sungai itu, namun bukan ikut-ikutan tenggelam dalam arus!
Demikian pula saat mengamati batin, kita sadar akan apa yang muncul dalam arus pemikiran kita, tanpa terhanyut ke dalamnya.
Ketika kita meditasi, kita berusaha mengikis kilesa! Saat meditasi banyak fenomena yang mungkin akan kita hadapi. Misalnya mengantuk dan sakit. Itu merupakan suatu 'sankhara' (bentukan mental) dan sensasi fisik berupa sakit maupun sensasi batin berupa perasaan tidak menyenangkan. Segala fenomena apapun yang akan kita hadapi adalah 'bentukan kamma'. Ketika ia muncul, segera hadapi dan atasi. Ada 2 pilihan. Apakah Anda menyerah dengan ikut terhanyut dalam fenomena yg muncul tersebut atau menjadikannya sebagai batu loncatan bagi kita agar semakin maju dalam pengembangan batin. Ketika kita menjadikannya sebagai batu loncatan, kita berusaha mengikis 'sankhara' yang muncul agar tidak menjadi rantai berkelanjutan. Jika kita bereaksi melalui pandangan benar (sammaditthi), maka sankhara itu akan lenyap sebagaimana sifat alamiahnya yang muncul dan lenyap. Demikianlah kita mengikis bentukan kamma (sankhara) dan kilesa selapis demi selapis.
Contohnya, muncul rasa mengantuk yg merupakan sankhara (bentukan mental). Anda mengamati rasa kantuk itu sampai rasa ngantuk itu lenyap. Begitupula muncul rasa sakit, yang merupakan bentukan kamma. Kita mengamati sensasi fisik itu. Namun, mungkin Anda tidak menyukainya. Disinilah Anda harus jeli, ketika suatu perasaan tidak menyenangkan yang berakar dari rasa tidak suka (kebencian) telah muncul. Anda langsung segera tahu dan sadar akan fenomena yang muncul, agar tidak terhanyut akan kilesa yang telah menampakkan dirinya.
Jika Anda merasa gelisah, suatu sankhara muncul ke permukaan kesadaran, karena suatu sebab yang pernah Anda lakukan di kehidupan lampau. Jika kita bisa mengatasinya dengan pengamatan yang jernih dan pandangan benar, maka kita telah mengikis sankhara dan kilesa itu. Oleh karena itulah, dalam meditasi kita memurnikan batin dengan mengikis kilesa-kilesa dan ini merupakan perbuatan baik!
Dalam bermeditasi, sangat diperlukan untuk menjaga moralitas (sila). Jika perbuatan sehari-hari kita baik, meditasi akan lebih mudah, kita akan lebih tenang dan hening. Jadi, moralitas sangat berpengaruh!
Secara teori kita mengetahuinya. Namun, dalam praktiknya kita suka menuruti kilesa-kilesa ini. Seolah-olah kita tak berdaya. Karena kita menganggap adanya "aku" "diri" yang kekal. Kita merasa bahwa ada "aku" yang mengalami semua ini. Perasaan ini adalah aku, persepsi ini adalah aku, dsb. Aku yang melihat, aku yang mendengar, ku yang merasakan, aku yang berpikir... sehingga kita menuruti kilesa yang muncul dalam kesadaran, seolah-olah kita harus memenuhi kebutuhannya. Demikianlah kita diperbudak oleh kilesa dan terus memberinya makan dengan menuruti kilesa itu, sehingga suatu watak yang tidak baik terbentuk dan mengakar kuat yang menjadi pola kebiasaan. Itulah mengapa kita bisa melihat, ada yg wataknya pemarah, penuh nafsu, pemalas, dsb.
Lalu, bagaimana kita mengikis kilesa-kilesa tersebut?
Seperti sudah dijelaskan dalam contoh diatas. Kita bereaksi akan segala fenomena melalui kebijaksanaan (panna), yaitu pandangan benar (sammaditthi) akan segala fenomena yang muncul, berlangsung dan lenyap. Kita mengamati batin (nama) dan tubuh (rupa) sebagaimana kemunculan dan kelenyapannya. Ya, diibaratkan bahwa Anda berdiri di tepi pantai dengan ombak yang datang dan pergi. Ombak yang datang bergulung-gulung mencapai tepi pantai, lihatlah buih-buih atau gelembung-gelembung bermunculan yang ditinggalkan oleh ombak tersebut dan lenyap. Kemudian, ombak tertarik arau kembali ke tengah pantai. Demikianlah datang silih berganti. Kita melihat batin dan jasmani kosong dari diri bagaikan gelembung, buih atau busa.
Inilah tiga latihan bertahap, yaitu moralitas (sila), konsentrasi (samadhi), dan kebijaksanaan (panna) yang saling mendukung satu sama lain dan perlu dikembangkan. Ketika panna kita semakin terang, samadhi semakin dalam, sila kita pun akan semakin murni. Demikian tiga latihan bertahap ini saling mendukung.
"Sebagian orang hanya hilir mudik di sisi pantai sebelah sini. Hanya sedikit yang mampu menyebrang ke Pantai Sebrang. Namun, Tathagata dan para siswa Ariya telah menyebrang dengan selamat." ~Dhammapada~