Conquering Alskade

Gadis cantik itu bersenandung kecil. Sikutnya berpanggu di atas jendela yang terbuka lebar, menopang dagunya. Wajahnya berseri-seri mengagumi pemandangan yang terhampar tepat di depan matanya. Matahari yang terbit malu-malu, menyembul ragu di antara gumpalan awan putih kelabu dan langit biru. Deretan pegunungan yang berselimut kabut di kejauhan, seakan enggan menunjukkan kecantikannya di pagi yang dingin itu. Matahari yang perlahan mulai naik dan menyinari bumi, menambah sempurna latar belakang pemandangan. Menghiasi gunung Alskade yang berdiri tegak bak menara raksasa, membaurkan warna putih di tebingnya dengan cahaya kekuningan matahari.

Menikmati pemandangan Alskade saat pagi adalah ritual wajib gadis cantik itu setiap hari. Ia selalu kagum dengan keangkuhan, kekuatan dan kecantikan yang dimiliki oleh Alskade. Gunung kapur itu telah berada di kerajaan Murerarthe sejak jutaan tahun silam bahkan sebelum Murerarthe terbentuk. Tapi baru beberapa waktu terkahir ini gadis itu menyadari bahwa Alskade adalah objek yang paling luar biasa di seluruh Murerarthe. Dan dia selalu berkhayal dapat menaklukkan gunung itu. Menapaki puncaknya, mendaki jalurnya yang terjal, berbatu dan rapuh.

Tiba-tiba, sebuah ketukan di pintu membuyarkan lamunan gadis cantik itu.

“Tuan Putri, bolehkah saya masuk?”, ujar suara yang muncul setelah ketukan pintu itu.

Gadis cantik itu menoleh, ia mengenali pemilik suara itu. Kemudian ia meninggalkan pemandangan Alskade lalu memutar langkahnya menuju pintu. Ya, gadis cantik itu adalah Putri Alisanne. Tuan Putri dari Kerajaan Murerarthe

“Sebentar, Eponine!”, ujarnya seraya membukakan pintu.

Di depannya, seorang wanita muda yang hanya terpaut beberapa tahun lebih tua darinya, membungkukkan badan memberi hormat. Ia kemudian tersenyum dan mengucapkan selamat pagi.

“Sudah waktunya sarapan, Tuan Putri. Apakah Tuan Putri ingin sarapan di ruang makan atau saya bawakan kemari?”

Alisanne terdiam sesaat. “Di sini saja, Eponine”, jawabnya

Eponine mengangguk. Lalu pamit dan berlalu. Tak lama kemudian, Alisanne menyembulkan kepalanya dari balik pintu, lalu berseru, memanggil dayangnya itu, “Eponine! Kau sudah sarapan?”

Eponine berbalik, ia kembali menghampiri Alisanne sambil menggeleng, “Belum, Tuan Putri. Ada apa?”, tanyanya kemudian.

“Hmm…baiklah. Bawa sarapan untukmu juga. Temani aku, ya?”, katanya lembut pada Eponine

“Apakah tidak apa-apa, Tuan Putri? Anda tidak…”, tanya Eponine ragu

“Sudah, aku butuh teman. Jangan biarkan aku memulai pagi ini dengan sedikit kegilaan mencoba mengajak bicara cangkir teh dan pisau roti. Sekarang ambil sarapan untuk kita makan bersama, ya?”, pinta Alisanne sambil tersenyum.

Eponine tersenyum senang sambil menunduk malu-malu, lalu mengikuti perintah sang Tuan Putri.

Tak lama kemudian, mereka berdua sudah mengobrol seru. Seakan-akan seperti dua sahabat yang sudah lama bersama. Alisanne memang dikenal sebagai seorang putri yang ramah, baik hati, dan pandai berkomunikasi dengan siapa saja.

“Tuan Putri, saya perhatikan, Tuan Putri suka sekali mengagumi gunung Alskade. Tuan Putri memangnya ingin ke sana?”, tanya Eponine kemudian.

Alisanne tersenyum. Ia sekilas melayangkan pandangannya ke Alskade yang berdiri angkuh, lalu menggulirkan tatapannya pada Eponine.

“Eponine, tidakkah kau lihat? Alskade terlihat begitu dekat dari sini. Tapi aku tahu, dia sebenarnya jauh dan cukup sulit untuk dicapai. Itu membuat jiwa petualang di dalam diriku bangkit. Aku penasaran, ingin menaklukkan puncaknya. Merasakan kemenangan saat aku dapat melihat seluruh Murerarthe dari atas sana, tertutupi sapuan kabut tipis di puncak yang kokoh itu”, kata Alisanne bersemangat.

Si dayang muda ikut melayangkan pandangan ke luar jendela, mengamati setiap detail Alskade.

“Indah sekali, Tuan Putri. Pasti akan jadi kebanggaan bagi setiap orang yang dapat menaklukkan Alskade. Tapi…apakah itu terlalu berbahaya, untuk…”

“Menaklukkannya, Eponine?”, lanjut Alisanne.

Eponine menatap sang Putri, sambil menganggukan kepalanya tanda setuju.

Alisanne menggosokkan kedua telapak tangannya, lalu menumpukan kedua tangan halus itu di dagunya. Ia menatap Eponine.

“Biar aku tanya…pernahkah ada seorang saja, yang menaklukkan Alskade di seluruh Murerarthe?”, tanyanya kemudian.

Eponine menggerakkan matanya—mencari jawaban.

“Para penambang kapur selalu ke sana setiap tahunnya, Tuan Putri…setiap tahun di awal musim panas sebelum suhu terlalu tinggi dan mempersulit penambangan kapur.”

Alisanne menegakkan duduknya, lalu berkata, “Tapi tidak ada yang sampai ke puncaknya kan, Eponine? Puncaknya”, tekan Alisanne sambil mengangkat alis.

Eponine menggeleng. Ia meletakkan cangkirnya, kemudian berkata, “Terlalu berbahaya, Tuan Putri”

Alisanne mengernyit.  Ia tidak puas dengan jawaban Eponine.

Kemudian ia bertanya, “Bagaimana mungkin orang-orang berkata bahwa sesuatu hal itu berbahaya, sementara tidak pernah ada orang yang pernah mencobanya? Bukankah untuk mengetahui sup yang kau masak ini terlalu asin atau tidak, kau perlu mencobanya dulu, Eponine? Betul?”

“Tuan Putri tidak salah”, jawab Eponine.

“Tapi, ada beberapa hal yang tidak memerlukan percobaan, Tuan Putri. Karena, mencoba hal tersebut sama saja artinya dengan membahayakan nyawa kita sendiri”, lanjutnya

“Contohnya?”, tanya Alisanne singkat

“Hmm…sudah pernahkah Tuan Putri melihat surga?”

Alisanne menatap Eponine bingung. “Ti..tidak, tidak Eponine. Aku belum pernah melihatnya. Tapi dari kisah-kisah yang ku baca, tak ada kata yang dapat melukiskan keindahan surga. Dan kekayaan serta kebahagiaan yang akan kita dapatkan di sana kekal selamanya. Tidak ada hal apapun di dunia ini yang dapat menyerupai surga. Bahkan negeri Utopia yang selalu disebut-sebut orang sebagai setetes surga pun, katanya tidak dapat menyerupainya”, ujar Alisanne

“Apa hubungannya dengan Alskade, Eponine? Adakah surga di puncak Alskade?”

Eponine tersenyum, kemudian ia menggeleng. “Saya belum selesai, Tuan Putri”

“Lantas, apakah Tuan Putri tahu siapa saja yang dapat masuk surga?”, lanjut Eponine.

“Hmm…kata Ayah, orang-orang berhati baik dan lurus semasa hidupnyalah yang dapat menghuni surga kelak, Eponine”, jawab Alisanne.

“Baiklah…jadi Tuan Putri tahu seperti apa surga itu. Tuan Putri tahu seperti apa orang-orang yang masuk surga itu. Apakah Tuan Putri ingin masuk surga?”, tanya Eponine lagi

“Tentu saja, Eponine! Siapa yang tidak mau?”, jawab Alisanne cepat.

“Tuan Putri, maaf apabila pertanyaan saya yang berikutnya ini lancang. Tapi…setelah Tuan Putri dapat membayangkan seperti apa surga itu, dan Tuan Putri ingin masuk surga, apakah Tuan Putri ingin mencoba merasakan seperti apa masuk surga itu?”, tanya Eponine lagi.

Alisanne membuka mulutnya. Namun sesaat kemudian, ia kembali terdiam. Ia mengetukkan jemari lentiknya di meja, lalu berpikir sesaat.

Mencoba? Setahuku, aku baru bisa masuk surga kalau aku meninggal, Eponine. Lantas, apakah mencoba itu berarti…aku harus meninggal dulu, lalu kemudian hidup lagi setelah merasakan seperti apa rasanya masuk surga?”, tanya Alisanne.

Kali ini Eponine tidak berkata apa-apa. Ia hanya menatap sang Tuan Putri, lalu mengangguk.

“Tidak, tidak, tidak! Tidak, Eponine. Gila! Masa iya aku harus mati dulu untuk mencoba sesuatu??”, protes Alisanne.

Tiba-tiba ia terdiam. Seakan tersentak. Matanya bergerak cepat. Lalu ia melirik Alskade di kejauhan. Kemudian menatap Eponine yang tengah memandangnya lembut.

Seolah sebuah lonceng baru saja dibunyikan di kepala Alisanne. Dia mengumpulkan setiap kalimat, pembicaraannya dengan Eponine. Dirangkainya seakan-akan setiap kepingnya adalah serpihan mozaik yang harus ia susun dengan teliti.

Sesaat kemudian, Alisanne menganggukkan kepalanya. Ia paham ke mana arah pembicaraan Eponine.

“Apakah Tuan Putri paham maksud saya?”, tanya Eponine singkat

Sang Putri bergeming sesaat. Lalu kembali mengangguk.

“Tuan Putri Alisanne, Alskade terdiri dari susunan kapur yang berbeda dari kapur lainnya. Sepintas, kelihatannya ia memang kokoh. Tapi, ia kokoh hanya di bagian dasarnya saja. Semakin kita mendaki ke atasnya, permukaannya justru semakin rapuh dan terjal. Itulah alasan mengapa para penambang kapur tidak pernah mendaki sampai ke atas. Bahkan, mereka pun selalu sangat berhati-hati saat mereka menambang kapur di Alskade.”

Sesaat Eponine terdiam, menyesap tehnya. Memberikan waktu bagi Alisanne untuk menyerap kata-katanya.

Kemudian ia melanjutkan, “Penambang kapur itu tidak akan pernah berani menambang lebih dari sepertiga bagian Alskade. Tuan Putri tahu kenapa?”

Alisanne mengangguk-anggukan kepalanya.

“Terlalu riskan. Jika mereka mengambil bagian yang rapuh dalam jumlah yang besar, maka Alskade akan longsor…dan itu terlalu berbahaya bagi mereka, juga bagi Murerarthe…”, ujar Alisanne dengat mata menerawang ke Alskade.

“Teruskan, Eponine”, katanya kemudian.

“Jadi, Tuan Putri…bisakah Tuan Putri bayangkan? Seandainya Tuan Putri bersikeras untuk menaklukkan Alskade. Lalu, maaf Tuan Putri, ada kemungkinan terburuk seperti…tiba-tiba permukaan Alskade yang rapuh itu longsor, atau tebingnya runtuh. Lantas, apa bedanya dengan ‘percobaan masuk surga’, Tuan Putri”, tanya Eponine hati-hati.

Perkataan Eponine ada benarnya juga. Alisanne kembali menganggukkan kepalanya.

“Tuan Putri, apakah Tuan Putri ingat, bahwa Tuan Putri kelak akan menjadi pewaris tunggal kerajaan Murerarthe? Bagaimana perasaan Baginda Raja dan Ratu, jika mengetahui bahwa Putri kesayangannya tengah membahayakan dirinya sendiri demi obsesinya pada Alskade?”, tanya Eponine

“Hmm…mereka pasti sedih, Eponine…”, kalimat Alisanne menggantung di udara.

“Tapi, ayah juga suka melibatkanku dalam peperangan. Ayah selalu bilang kalau aku pandai memanah dan menyusun strategi perang. Perang dan Alskade, bukankah lebih berbahaya perang?”, tuntut Alisanne.

“Tuan Putri…”, kata Eponine Sabar.

“Jika Tuan Putri meninggal dalam peperangan, Tuan Putri sesungguhnya meninggal karena Tuan Putri berjuang mempertahankan kerajaan, yang memang layak Tuan Putri perjuangkan. Tuan Putri meninggal untuk kepentingan begitu banyak orang. Tuan Putri meninggal dalam kemuliaan untuk kebaikan Murerarthe dan seluruh rakyatnya..”, lanjutnya

“Sementara, jika Tuan Putri mengalami musibah saat Tuan Putri ingin mendaki Alskade…”

“Aku hanya mati karena obsesiku pada keindahan. Aku mati untuk obsesiku pada sesuatu yang mengalihkanku dari misi besar di masa depan yang Ayahku titipkan. Jika aku menaklukkan Alskade…mungkin aku akan bangga. Tapi, apakah itu berpengaruh untuk kehidupan Murerarthe?”, Alisanne melanjutkan kalimat Eponine.

Eponine mengangguk, sambil tersenyum lembut.

“Kau benar, Eponine. Terkadang, ada beberapa hal yang tidak boleh disentuh. Ada hal yang memang bukan diciptakan untuk kita taklukkan. Ada hal yang hanya boleh dinikmati keindahannya, namun tidak untuk kita miliki. Seperti Alskade. Alskade seperti obsesi yang tak pernah ku sadari. Yang dapat membunuhku sendiri jika aku mengikuti obsesiku.

“Setiap saat, Alskade akan selalu jadi inspirasiku. Tentang menjaga diriku, menjaga Murerarthe, dan menghargai apa yang kita sebut dengan hidup. Mungkin Alskade ada dan sengaja diciptakan untuk menjadi penghias Murerarthe dan menjadi penopang hidup para penambang kapur. Tapi tidak untuk kutaklukkan. Alskade lah pelajaran tentang batas. Bahwa akupun memiliki batas kemampuanku sebagai manusia. Dan setiap apapun yang ada di dunia ini, diciptakan dengan batasnya masing-masing…”, Alisanne menghela nafas.

“Biarkan Alskade menjadi pemandangan indah yang menyenangkan mata dan menentramkan hatiku. Alskade mungkin memang diciptakan bukan untukku. Biar Alskade menjadi pengingatku akan sesuatu yang sangaaaat penting…”, kata Alisanne lagi sambil tersenyum dan mengalihkan pandangannya kepada Eponine.

“Apakah sesuatu yang penting itu, Tuan Putri?”

“Tentang sesuatu yang diciptakan untuk menjadi ujian. Ia ada dan diciptakan untuk mengalihkan perhatian kita sesaat. Melupakan janji yang pernah kita buat, untuk sesaat. Menyeruak di antara usaha kita dalam menepati janji. Mengalahkan janji, dengan sesuatu yang dinamakan obsesi.”, jawab Alisanne.

Eponine tersenyum. Mereka berdua memandang Alskade yang berdiri dengan anggun, cantik, sekaligus gagah seakan membentengi Murerarthe. Eponine lalu menatap Alisanne yang tengah tersenyum penuh arti mengagumi Alskade.

Sang Tuan Putri mendapatkan pelajaran penting hari itu. Dia memang tidak menaklukkan Alskade lewat pendakian berbahaya. Namun, ia dapat menaklukkan ‘Alskade’ di dalam dirinya sendiri. Dengan kekuatan, pikiran, dan ketulusan hati yang ia miliki.

Karena sesungguhnya…setiap kita memiliki ‘Alskade’ yang harus kita taklukkan sendiri.