Cewek Kesayangan Paling Juara

“DAKK!”

Kursi dan meja kantin berdentum saat Laras kembali ke tempat duduknya dengan gusar. Tanpa sengaja, kakinya menyenggol—setengah menendang—kursi dengan cukup kuat.

Di sebelahnya, laki-laki yang setengah jalan menyuapkan sesendok soto ke mulutnya, membiarkan tangannya itu menggantung di udara. Melirik Laras dengan kernyitan di dahinya.

“Astaga, Ras! Selow aja kali! Demo buruh masih jauh lo udah emosi aja!”, protes laki-laki itu sembari melanjutkan perjalanan sotonya.

Laras memutar bola mata. Lalu dengan cepat, tangannya sudah berpindah menarik segelas es jeruk milik laki-laki itu.

“Bagi, Ya! Haus! Bete gue!”, kata Laras sambil menyedot es jeruk yang masih penuh itu.

Sang empunya hanya bisa pasrah melihat kelakuan sahabatnya. Dia sudah biasa menghadapi tingkah Laras yang aneh-aneh dari waktu mereka SMA. Sampai sekarang, duduk di bangku tingkat 2 kuliah.

“Habisin aja, Ras…habisin. Sluuuurp…seger ya, enak! Gratis sih!”, ujar laki-laki itu dengan nada gusar yang dibuat-buat.

Laras menoleh ke arahnya. Lalu nyengir.

“Hehe. Sorry.  Thanks, Arya!”, katanya kemudian.

Hening beberapa saat, Laras sibuk dengan gadget nya. Arya sibuk dengan soto dan pemandangan mahasiswi baru yang berseliweran di kantin kampus mereka.

“Kenapa sih, Ras? Bete amat? Bukan gara-gara cowok sih pasti…”, tanya Arya sesaat kemudian.

“Kok tau??”, Laras bertanya balik.

“Tau, lah. Lo kan jomblo. Jadi gak mungkin lo marah-marah gara-gara diselingkuhin cowok atau gak diajak malem mingguan. Apa jangan-jangan….lo habis ditolak cowok?”, cerocos Arya.

Laras meninju lengan Arya dengan kesal. Lalu menjawab dengan merengut.

“Bukan, sih!”

“Lah terus?”, tanya Arya lagi

“Nyokap gue, Ya…”, kalimatnya menggantung di udara.

“Hah? Nyokap lo? Kenapa?”

Laras melanjutkan dengan malas.

“Masa hari ini gue ditelfonin tiga kali sehari, Ya! Lo bayangin, tiga kali sehari!!”

“Lah? Baguslah. Kangen kali tuh sama lo…”

“Huh! Mana ada kangen. Tiap hari ketemu juga!”, jawab Laras bete

Arya menatapnya bingung, lalu kembali bertanya,

“Lah, terus kenapa? Emang ada yang urgent banget sampe lo ditelfon tiga kali sehari gitu?”

Laras menggeleng. Kemudian menjawab pertanyaan Arya dengan nada kesal,

“Telepon yang pertama dari nyokap gue, pas lagi di tengah-tengah kelas finance. Menjelang quiz coba lo bayangin. Dan lo tau pertanyaannya apa?”

Arya menggeleng

’Laras, mama kan udah follow artis-artis sama pak esbeye tuh, di twitter. Nah, ini mama mau follow Yuni Shara…kok nggak bisa ya, Ras?’”, ujar Laras menirukan mamanya

Arya terkekeh dibuatnya. Lalu menunggu Laras melanjutkan ceritanya.

“Yaudah tuh kan, gue tanya ke nyokap gue. Nggak bisanya kenapa. Terus kata nyokap gue ‘mama udah search tapi nggak ada’”, jawab Laras sambil menirukan mamanya lagi.

“Hahaha! Nggak ada kali itu berarti…Yuni Shara nggak main twitter kali…”, tawa Arya

“Emang iya, ya!! Yaudah kan gue jelasin tuh ya ke nyokap gue, kalo Yuni Shara gak pake twitter mah, gak akan bisa di follow-follow segala. Eh nyokap gue protes, gara-gara gak bisa ngepoin Yuni Shara balikan lagi sama Raffi Ahmad apa nggak”, lanjut Laras kesal.

“Ebuseeet….gosip abeees dah nyokap lo! Hahaha! Terus terus, gimana?”

“Yaudah Ya, gitu doang. Udah doi ngomel-ngomel, telepon dimatiin”

“Serius gitu doang?”

“Iyeeee!”

Arya terkekeh-kekeh melihat tampang bete sahabatnya itu.

“Terus, telepon yang kedua gimana?”, tanyanya lagi

“Nanyain cara ngepost foto di Instagram, Ya….”, jawab Laras sambil tercenung.

Sekarang giliran Arya yang terpana.

Wait…what? You don’t say…? Nyokap lo pake instagram?”, tanyanya

“Yup! Baru tadi download dan langsung ribut mau selfie sama temen-temen pengajiannya tapi gak paham cara pake Instagram gimana. Jadi tadi gue jelasin panjang kali lebar kali tinggi sampe gue berbusa! Ada kali hampir setengah jam gue telfonan sama nyokap gue cuma buat kasih kursus singkat Instagram”, jawab Laras berapi-api.

Arya menggeleng-geleng kagum. Laras’ mom is the real definition of awesome mom on earth! Come on, berapa banyak sih emak-emak umur 40an lebih yang hari gini mau iseng-isengan main sosmed kayak nyokapnya Laras?

“Nyokap lo keren banget, Ras!”, puji Arya yang sekarang sudah menopang dagunya dengan tatapan menerawang penuh kekaguman.

“Keren gimana? Ribet iye. Ini tadi itu, telfonnya yang terakhir, ribut minta dibuatin Path”, ujar Laras.

Arya menoleh takjub ke arah laras. Mulutnya setengah terbuka. Lalu kemudian ekspresi takjubnya berubah bingung.

“Hmmm…OK…dibuatin Path…ribetnya di mana, Ras? Kan lo tinggal download aja, terus kasih tau nyokap lo gimana-gimananya…”

Laras menarik nafas dalam. Memutar bola matanya, seraya berkata, “Itu dia, Ya!”

Ia terdiam sejenak, lalu melanjutkan.

“Nih ya, nantinya gue harus download Path dulu buat nyokap gue. Terus jelasin satu-satu fiturnya. Terus ajarin cara ganti profpic, cover, dan segala macem. Belum lagi ngajarin nyari temennya. Belum kalo ntar error dikit, langsung hebohnyaaaa luar biasa! Trus gue harus siap-siap ditelfonin mulu kayak hari ini. Ribet! Please deh!”, cerocos Laras.

Arya memandangi Laras dengan serius. Lalu tersenyum simpul.

“Yah wajar…namanya juga ibu-ibu. Udah gak selincah kita kalo pake gadget. Nyokap lo bisa notice adanya this alien technology called the internet aja udah sukur, Ras…”, ujar Arya.

“Terus, gimana? Udah siap jadi guru sosmed buat nyokap lo?”, lanjutnya.

Laras termenung sesaat. Lalu menoleh ke arah Arya. Kemudian berkata,

“Jalan dulu deh yok sebelum gue balik. Suntuk banget ntar di rumah, dicerewetin soal sosmed mulu”

Arya berpikir keras. Ia mengetuk-ketukkan jarinya ke meja kantin. Lalu tersenyum lebar.

“Ah! Gue tau lo harus ke mana! Yaudah bentar, gue bayar-bayar dulu, terus kita jalan!”, seru Arya riang.

“Ke mana?”, tanya Laras sambil mengangkat sebelah alisnya.

“Ntar juga tau”, jawab Arya sambil nyengir. Punggungnya kemudian hilang di tengah kerumunan mahasiswa lain yang hendak mengantri di kasir.

 

Satu setengah jam kemudian, mereka sudah berada di sisi lain kota Bandung. Jauuuuh sekali dari kampus mereka di kawasan Buah Batu. Vespa Arya dengan lincah membelah kemacetan Bandung di siang hari yang cukup panas itu.

“Ya, kita mau ke mana sih sebenernya? Lo mau nyulik gue ya?”, tanya Laras di antara bisingnya suara ratusan kendaraan di jalan raya.

“Dih! Ogah amat nyulik lo. Untung kagak, rugi iya! Udah diem aja, pegangan yang anteng. Tar lagi nyampe, kok!”, jawab Arya sambil fokus pada kemudinya.

Mereka berkendara dalam diam beberapa saat. Arya lalu memarkir vespanya di sebuah toko bunga di pinggir jalan. Ia keluar dengan beberapa tangkai bunga mawar merah, pink, dan putih, di tangannya.

“Nih, pegang”, katanya singkat kepada Laras.

Laras menatapnya heran

“Kok lo ngasih gue bunga, Ya??”

Arya melongo. Matanya melebar, lalu mengetuk helm Laras.

“Buset! Geer amat lo! Bukan, bukan buat lo ini mah!”, jawab Arya

Laras menoleh sambil tersenyum malu.

“Hehe…kirain…lah terus?? Ini buat siapa?? Jangan-jangan lo mau ketemuan sama cewek ya??”

Arya nyengir, lalu terkekeh.

“Cewek paling juaaaarrrraaaa, Ras!”, ujarnya tengil

Laras mengernyit emosi. Jadi..jadi??

“Arya! Lo nyulik gue jauh-jauh buat jadi obat nyamuk ngeliatin lo pacaran, gitu?? Belum puas tadi gue udah dibawelin sama nyokap gue??!”, protes Laras

Arya terbahak-bahak. Ia sudah mengembalikan vespanya ke jalan raya.

“Bawel amat dah ini cewek satu! Gue turunin juga lama-lama! Udah, ntar juga tau, Ras…”, jawabnya di sela tawa.

Mereka lalu melanjutkan perjalanan dengan obrolan dan ejekan. Tak lama kemudian mereka sudah meninggalkan jalan raya dan masuk ke pemukiman penduduk. Jalanan sempit, menanjak dan menurun, menjadi track yang menantang mereka.

Tak lama kemudian, sampailah mereka di sebuah lapangan parkir yang cukup luas, dengan undakan-undakan tanah berumput di atasnya.

“Yuk! Kita udah sampe nih!”, kata Arya.

Ia memarkir vespanya di salah satu sudut di bawah pohon yang teduh di lapangan itu. Kemudian melepas helmnya. Laras mengangsurkan bunga-bunga mawar yang dibawa Arya, lalu melepas helmnya. Ia mengitari tempat itu dengan pandangannya. Kemudian menoleh ke arah Arya yang sedang tersenyum. Lengannya terbuka lebar, mengahadapkan tubuhnya ke undakan-undakan tanah berumput di depannya. Seakan berkata ‘I’m coming home!’.  Sebelah tangannya berisi segenggam penuh bunga mawar merah, pink, dan putih.

Arya lalu mengalihkan pandangannya pada Laras. Kemudian menggerakkan tangannya, mengajak Laras mengikuti langkahnya.

“Sini, kita ketemu sama cewek paling juara!”, ujar Arya.

Laras membeku di tempat.

“Ya…ini kan…”

“Taman pemakaman? Memang…Hehe”, kekehnya

“Kita cuma naik sedikit dari sini kok, yuk…”, lanjutnya lagi.

Laras mengangguk. Ia tahu ke mana Arya akan membawanya.

 

Tak lama kemudian, mereka berdua sudah berjongkok di hadapan sebuah makam yang tertata rapi. Ditutupi permadani rumput hijau yang terlihat segar, nisan pualam hitam yang mengkilap tertimpa cahaya matahari, dan mawar merah, pink, dan putih, yang tadi Arya beli, sudah terpasang cantik menghiasi gundukan makam itu.

“Nyokap gue sukaaaa banget sama mawar. Di rumah, dulu banyak banget mawar, Ras. Tapi sejak Mami nggak ada, tamannya gak secantik dulu lagi. Maklum, yang tinggal kan gue, bokap gue, abang gue….laki semua. Gak ada yang bisa selincah Mami soal kebun berkebun”, jelas Arya sambil mengusap nisan Maminya.

Laras menepuk lembut bahu Arya.

“Ya…I’m so sorry…”, kata Laras. Ada nada sesal di dalam suaranya.

Arya menggeleng.

“Sorry? Buat apa, Ras? Kan lo gak salah apa-apa sama gue?”, tanya Arya bingung.

Laras tercenung. 5 tahun ia mengenal Arya, bersahabat dengan Arya, baru hari ini ia menemani Arya mengunjungi makam Maminya. Bahkan saat tadi Laras ngomel-ngomel soal Mamanya, dia lupa kalau dia tengah berbicara dengan anak yang telah menjadi piatu sejak usianya belum genap 13 tahun. Menceritakan kekesalannya soal Mama kepada Arya, sama saja rasanya seperti protes ingin bolos kuliah pada seorang anak yang putus sekolah. Tidak bersyukur pada nikmat yang dimilikinya.

“Yuk, ikut berdoa buat nyokap gue”, kata Arya memecah keheningan.

Mereka berdua lalu menunduk, Arya memimpin doa dengan khusyuk. Tak terasa, mata Laras basah.

“Aamiin…”, Arya mengakhiri doa sambil mengusap wajahnya.

Ia lalu menoleh, memandangi wajah Laras.

“Lah kenapa lo nangis, Ras?”, tanya Arya.

Laras menghapus air matanya, memaksakan senyum. Ia menggeleng, lalu berkata,

“Gak, ya…gak apa-apa..”

Arya tersenyum.

“Ini maksud gue, Ras…”, kata Arya “Ini alasan gue ngajak lo ke sini. Nggak semua orang seberuntung lo, Laras..”

Laras terdiam. Ia menyesali sikapnya yang marah-marah pada Mamanya tadi di telepon. Dan selama ini, betapa sering ia menyakiti Mama, membuat Mama pusing, dan frustrasi dengan kelakuan Laras. Sementara Arya…

“Sementara lo merasa nyokap lo bawel gara-gara sosmed doang sampe heboh, gue bahkan rela ngelakuin apa aja demi denger nyokap gue teriak bangunin gue dan nyuruh gue kuliah. Atau at least, ngeliat nyokap gue, barang semenit. Semenit doang, Ras…asal gue bisa meluk Mami, cium Mami, minta maaf sama Mami, dan…dan…dan bilang ‘I love you, Mami’”

Arya tercekat. Ia menghela nafas panjang, menahan air matanya turun.

“Bahkan gue pun nggak sempat berterima kasih sama semua yang udah Mami lakuin buat gue. 13 tahun gue dirawat Mami, dikandung, gue minum ASInya. Dan sampe detik ini, gue masih nyesel, gue belum bisa bales apa-apa yang nyokap gue lakuin buat gue”

Arya tertunduk. Air matanya pecah. Di sebelahnya, air mata Laras makin membanjir. Laras merangkul pundak sahabatnya itu.

“Ras, lo tau nggak. Dulu, waktu gue kecil, belajar baca itu sulitnya minta ampun. Gue…gue susah bedain ‘b’ dan ‘d’, ‘k’ sama ‘h’ ketuker mulu, ‘s’ , ‘z’, ‘2’, dan ‘5’, sering banget ke switch. Tapi Mami luaaarr biasa, Ras. Luar biasa. Sabar banget ngajarin gue dengan segala cara. Sampe-sampe Mami ngajakin gue bikin cookies bentuk huruf dan angka, buang-buang adonan cuma supaya gue paham alfabet dan angka…”, kenang Arya

“Tabel huruf, puzzle huruf dan angka, buku, gambar-gambar, semuanya, Ras. Semua mami lakuin. Buat gue biar bisa baca. Mami sabaar banget ngajarin gue. Belum lagi dia juga harus ngajarin abang gue yang baru masuk SD. Ngurus bokap gue juga…repot, ya?”, lanjutnya lagi.

Laras hanyut dalam cerita Arya. Dulu, Laras cukup lemah dalam berhitung. Matematika bukanlah hal yang mudah baginya. Waktu SD, ia dulu sering merasa malu karena matematikanya selalu jelek. Tapi, mama dengan sabar mengajari Laras. Bahkan saat SMP kelas 2, Laras berhasil membawa pulang medali perunggu di olimpiade matematika tingkat provinsi. Semua karena usaha Mama yang begitu sabarnya mengajari Laras. Tak pernah Mama membentak atau memarahi Laras. Mama selalu penuh kelembutan dalam mengajari Laras. Lembut namun tegas .

Sementara sekarang…Mama hanya ingin belajar gaul. Mama Cuma ingin merasakan seperti apa hidup di media sosial yang begitu digandrungi saat ini. Lantas, kenapa Laras harus marah?

“Ya, lo tau nggak? Dulu, gue itu oon banget matematikanya”, ujar Laras.

Arya membelalak heran.

“Bohong!!”, serunya

Laras menggeleng dan tersenyum.

“Sekarang lo taunya gue pinter itung-itungan, waktu SMA juga udah lancar ngerjain matematika. Tapi, waktu SD gue payah banget. Nyokap gue bahkan sampe bawa-bawa permainan matematika ke mana-mana, biar gue bisa belajar. Even itu lagi nungguin nyokap arisan…”, kata Laras

Arya tersenyum memandang Laras.

“Gue bilang juga apa. Your mom is cool, Ras! Really cool!”, kilat jenaka yang sempat padam di mata Arya, sekarang sudah mulai kembali lagi.

Laras tersenyum menatap Arya.

“Ras, janji sama gue. Mulai sekarang, nggak ada lagi ngomel gara-gara nyokap lo rewel soal Path, Twitter, Instagram, or what so ever…”, kata Arya

“Anggaplah, lo ngajarin nyokap lo soal sosmed itu ya sebagai tanda terimakasih karena nyokap lo udah bikin lo pinter matematika. Biarpun, itu memang nggak akan pernah bisa ngeganti apa yang udah nyokap lo lakukan selama ini…pinky promise?”, lanjutnya sambil mengacungkan jari kelingkingnya.

Laras mengangguk dan tersenyum. Lalu menautkan kelingkingnya dengan kelingking Arya.

I promise, Ya…Makasih, makasiiiih banget hari ini.

Mereka terdiam beberapa saat. Memandangi makam Mami Arya. Merinding rasanya Laras saat membayangkan jika nama yang tertulis di nisan itu adalah nama Mamanya sendiri.

Tak terasa, sore hari mulai menjelang. Arya dan Laras beranjak dari duduknya. Sebelum pergi, Arya mengusap batu nisan itu sekali lagi, seolah tengah mengusap rambut maminya.

“Mi, Arya pulang dulu ya…mau nganterin cewek bawel dulu…Nanti Arya, Abang, sama Papi, ke sini lagi jengukin Mami ya. Kita kangen banget sama Mami…”, pamit arya sambil memandangi makam itu penuh makna.

Di belakang Arya, Laras merasa seperti anak paling durhaka hari itu.

 

Hari sudah sangat sore ketika Laras sampai di rumah. Seperti biasa, Arya masuk dulu dan menyapa Mama Laras.

“Tante, maaf pulangnya kesorean. Tadi Arya ngajakin Laras jalan dulu”, katanya sambil nyengir dan mencium tangan Mama Laras.

Mama Laras tersenyum sambil menepuk bahu Arya, “Eh nggak apa-apa, Ya…makasih ya udah dianterin…sini, sini. Masuk dulu, yuk”, katanya kemudian.

Mereka bertiga lalu masuk ke dalam rumah, menikmati sore itu di sofa ruang tamu rumah Laras. Arya memang sudah dianggap Mama Laras seperti anaknya sendiri. Dan mereka cukup sering menikmati waktu-waktu seperti ini, seperti layaknya seorang ibu dengan kedua anaknya.

Tapi, ada yang sedikit berbeda sore itu. Arya dan Laras mengerling satu sama lain. Tak lama kemudian, Laras merentangkan tangannya dan memeluk sang Mama. Menciumnya, seraya berkata, “Mama, mama…maafin Laras ya tadi Laras marah-marah sama Mama di telepon. Maafin, Ma…I love you”, ujar Laras

Mama Laras kaget bercampur haru, kemudian membalas pelukan anaknya sambil mengusap rambutnya penuh sayang. Kemudian Mama berkata dengan sangat lembut, “Laras nggak salah apa-apa, Sayang…Mama aja yang gaptek. Udah, gitu doang kok kamu minta maaf segala. Nggak apa-apa kok, nggak apa-apa…”

Di balik punggung Mama, Laras nyaris meneteskan air mata, melirik Arya yang yang mengacungkan jempolnya sambil mengatakan ‘that’s my best girl!’ tanpa suara. Yang dibalas Laras dengan senyuman dan ‘thank you’ tanpa suara.

Laras mengusap air matanya, lalu melepaskan pelukannya dari Mama.

“Eh…mama jadi pake, Path? Mama udah download? Yuk, kita cobain yuk, Mam…”, ujar Laras dengan senyum manis.

Mata Mama berbinar dan langsung menyerahkan tablet nya dengan bersemangat pada Laras. Tak lama kemudian, mereka bertiga sudah mengorol seru soal Path dan cara menggunakannya. Tak hanya Mama yang merasa bahagia hari itu, tapi Arya pun ikut merasakannya. Ia dapat merasakan bahagianya seorang ibu yang dulu mengajari matematika dan alfabet kepada anak-anaknya dengan penuh kesabaran, kini masih sempat belajar menggunakan Path pada anaknya sendiri yang megajarinya dengan sabar juga.

Laras dan Arya mungkin hanya melihat kalau Mama Laras sedang berusaha untuk jadi ‘Mama gaul’ dengan mencoba-coba menggunakan sosial media. Tapi, mereka mungkin tidak akan pernah tahu bahwa bawelnya Mama Laras soal sosial media itu sebenarnya salah satu bentuk rindu seorang ibu akan anaknya. Rindu akan masa-masa mereka berlajar angka dan alfabet bersama. Karena semakin seorang anak dewasa, maka semakin jarang pula anak menghabiskan waktu dengan ibunya untuk belajar atau sekedar membicarakan ‘anak ayam atau telur duluan yang keluar’, seperti waktu mereka kecil dulu. Mama kangen dianggap cewek paling juara di hati anaknya seperti saat mereka kecil dulu.