Peranan Agama Buddha Dalam Keluarga Part II

Buddha Dharma Untuk Keluarga

Hingga kini masih terdapat beberapa pandangan keliru dari berbagai kalangan tentang agama Buddha, terutama mereka yang beragama Buddha secara tradisi.
Ada pihak yang menganggap bahwa agama Buddha hanya cocok untuk mereka yang ingin meninggalkan keduniawian atau menjalani kehidupan suci saja. Sehingga ada sebagian orangtua yang merasa khawatir jika melihat anak-anak mereka aktif di salah satu vihara karena mereka mempunyai anggapan bahwa jika seorang anak tertarik dan aktif dalam bidang agama Buddha maka anak tersebut dikhawatirkan akan meninggalkan keduniawiaan dan hidup sebagai bhlkkhu atau bhikkhuni.

Disamping itu ada sementara orang yang berpendapat bahwa agama itu hanya cocok untuk para orangtua saja, terutama mereka yang sudah pensiun dan anak-anaknya sudah mapan dan berkeluarga, sehingga mereka punya banyak waktu untuk berdoa dan melakukan berbagai aktivitas sosial. Karena itu banyak orangtua yang
tidak setuju jika anak-anak mareka sejak kecil aktif dan mau belajar tentang agama Buddha. Mereka beranggapan waktu yang cocok untuk belajar agama Buddha adalah pada saat sudah tua.
Sehingga mereka yang berpandangan demikian, tidak mendorong anak-anak mereka agar mau belajar dan mempunyai aktivitas keagamaan, antara lain dengan menganjurkan anak-anak mereka untuk mengikuti sekolah minggu Buddhis.

Jika kita teliti lebih jauh, pendapat-pendapat tersebut di atas adalah
sangat keliru, karena seseorang yang belajar agama Buddha tidak harus menjadi rohaniwan.
Hal ini bisa kita lihat dari sejarah perkembangan agama Buddha dan juga isi dari ajaran-ajaran Beliau, bahwa cukup banyak ajaran-ajaran Beliau yang ditujukan untuk umat awam yang hidup berumah-tangga, dan cukup banyak ajaran agama Buddha yang dapat diberikan kepada anak-anak sejak dini terutama ajaran tentang sila dan bakti seorang anak kepada orangtuanya.

Di dalam riwayat hidup Buddha Gotama, cukup banyak umat awam yang setelah mereka belajar ajaran-ajaran Sang Buddha tersebut yang dapat mencapai tingkat-tingkat kesucian, bahkan ada yang dapat mencapai tingkat kesucian Arahat tanpa harus terlebih dahulu menjalani hidup sebagai bhikkhu atau bhikkhuni.

Pendapat tentang waktu yang tepat untuk belajar sesuatu agama pada saat usia tua adalah juga pendapat yang sangat keliru, karena setiap orang sulit untuk mengetahui berapa lama ia dapat hidup di dunia ini, dan jika ia meninggal selagi masih usia muda maka tidak sempat lagi untuk belajar agama dan berbuat kebaikan.
Disamping itu, jika sudah tua baru belajar maka umumnya akan kesulitan untuk mengingat suatu ajaran agama dengan baik, belum lagi jika fisiknya sudah sakit-sakitan, dan juga hanya berapa tahun ia dapat belajar sesuatu agama sebelum ajal datang menjemputnya.

Dengan belajar agama pada usia tua dan kemudian baru mengaplikasikan ajaran~ajaran suatu agama, maka waktunya juga relatif lebih singkat bila dibandingkan dengan seseorang yang telah mempraktekkannya sejak usia kanak-kanak hingga tua.
Sehingga timbunan jasa kebaikan yang telah dilakukan dan juga peluang belajar
agama jauh lebih besar pada saat seseorang masih dalam usia muda.

Jika kita teliti lebih dalam, sebenarnya cukup banyak ajaran-ajaran Sang Buddha yang ditujukan bagi umat awam yang hidup berumahtangga, termasuk ajaran tentang tugas dan kewajiban timbal-balik
antara orang-tua dan anak. Bahkan didalam agama Buddha, orangtua dipandang sangat mulia dan Sang Buddha selalu menganjurkan para siswa dan umat-Nya untuk selalu berbakti kepada orangtua mereka masing-masing.

Pada suatu kesempatan Sang Buddha
pernah mengatakan bahwa: "Ada empat ladang tempat menanam kebajikan, yaitu: Sang Buddha, Para Arahat, Ibu dan Ayah. "

Pada saat ini mungkin kita tidak bisa berjumpa dengan seorang Buddha, dan sangat sulit dapat bertemu dengan seorang Arahat untuk kemudian melakukan perbuatan baik kepada-Nya. Namun ibu dan ayah, secara umum akan dapat kita jumpai dalam kehidupan ini
dan mereka mudah sekali untuk dijadikan ladang tempat kita menanam jasa kebaikan.

Sang Buddha selalu menganjurkan kepada para siswa~Nya untuk
berbakti kepada orangtua masing-masing, karena selain dapat menanam jasa kebaikan bagi dirinya, seorang anak juga sangat berhutang budi kepada orang-tuanya yang telah melahirkan dan membesarkannya dengan penuh kasih—sayang. Sehingga tiada suatu
perbuatan baik apapun yang setara dan dapat dilakukan seorang anak untuk membalas jasa-kebaikan orangtuanya tersebut.

Untuk menggambarkan betapa sulitnya bagi seseorang untuk dapat membalas jasa kebaikan kedua orang-tua kita, Sang Buddha pernah memberikan analogi bahwa "seandainya seorang anak menggendong kedua orangtuanya terus-menerus selama seratus tahun, atau memberikan batu-permata setinggi pinggang mereka, serta memberikan
semua kesenangan yang ada di dunia ini. maka tetap saja ia tidak dapat membalas jasa-jasa orang-tuanya tersebut. ”

Di dalam agama Buddha, perbuatan bakti seorang anak kepada orangtuanya tidak terbatas hanya dapat dilakukan ketika mereka masih hidup, namun dapat pula dilakukan setelah mereka meninggal
dunia.
Sang Buddha sendiri juga telah memberikan tauladan kepada kita, yaitu tujuh tahun setelah Beliau mencapai ke-Buddhaan, Beliau menghabiskan masa vassa-Nya di surga Tavatimsa selama
tiga bulan dan mengajarkan Dhamma kepada ibunda-Nya yang telah
meninggal hingga dapat mencapai tingkat kesucian Arahat.

Di dalam Mahamangala Sutta, Sang Buddha mengatakan bahwa seorang umat yang ingin mendapatkan berkah utama, maka ia harus: "Membantu ayah dan ibu; menunjang anak dan isteri; dan bekerja bebas dari pertentangan. " Bahkan dalam Temiya Jataka disebutkan bahwa bagi mereka yang merawat orangtuanya, maka para dewa yang mengetahui perbuatan baik itu akan menyembuhkan penyakit mereka dan kelak setelah meninggal akan masuk ke
alam surga.

Di dalam agama Buddha terdapat salah satu Sutta yang membahas secara rinci dan khusus bagi perumah—tangga, yaitu dapat kita baca pada Sigalovada Sutta.
Pada Sutta ini, Sang Buddha menjelaskan
pandangan keliru seorang pemuda yang bernama Sigala, yaitu ia keliru menafsirkan pesan almarhum ayahnya tentang bakti seorang anak kepada orangtuanya dengan cara menyembah ke arah enam penjuru.

Karena itu, Sang Buddha pada kesempatan ini telah membahas se-
cara rinci apa yang dimaksud dengan perbuatan bakti seorang anak dan juga tentang tugas dan kewajiban timbal-balik antara suami dan isteri, anak dan orangtua, guru dan murid, majikan dan karyawan, serta seseorang dengan sahabatnya. Karena tulisan ini hanya membahas tentang keluarga, maka uraian tugas dan kewajiban yang akan dibahas hanya terbatas pada anak dengan orangtua, serta suami dengan isteri saja.

Kewajiban sebagai orangtua:

1. Berusaha menghindarkan anak-anak mereka dari kejahatan.
2. Mengajar anak-anak untuk berbuat baik.
3. Memberikan pendidikan yang baik pada anak-anak agar dapat mandiri.
4. Pada waktunya mengawinkan anak-anak mereka dengan pasangan yang sesuai.
5. Memberikan warisan kepada anak-anak pada saat yang tepat.

Kewajiban anak-anak kepada orangtua mereka:

1. Menunjang kehidupan orangtuanya untuk membalas jasa kebaikan mereka.
2. Melakukan kewajiban-kewajiban sebagai anak yang berbakti kepada orangtua.
3. Mempertahankan kekayaan keluarga.
4. Berkelakuan baik demi menjaga nama-baik dan tradisi-keluarga.
5. Melakukan perbuatan-perbuatan berjasa untuk dipersembahkan pada orangtuanya yang telah meninggal.

Kewajiban seorang suami kepada isterinya:

1. Memperhatikan kebutuhan isterinya.
2. Bersikap lemah-lembut.
3. Setia kepada isterinya.
4. Memberikan kekuasaan tertentu kepada isterinya.
5. Memberikan perhiasan kepada isterinya.

Kewajiban seorang isteri kepada suaminya:

l. Melakukan tugasnya dengan baik.
2. Ramah-tamah kepada keluarga dan teman—teman dari kedua-belah pihak.
3. Setia kepada suaminya.
4. Menjaga baik-baik barang yang dibawa oleh suaminya.
5. Pandai dan rajin mengurus rumah-tangga.


(Bersambung ke part III)