Peranan Agama Buddha Dalam Keluarga Part I

AGAMA memegang peranan yang sangat penting dalam keluarga,
karena keluarga yang agamis dan menjalani ritual keagamaan secara rutin akan sangat membantu mereka sekeluarga dalam mengatasi masalah-masalah hidup dan kehidupan.
Berdasarkan hasil penelitian Dr. Paul Pearsall atas ratusan keluarga di Amerika Serikat yang sedang menderita berbagai penyakit kritis, dapat disimpulkan bahwa keluarga dan ritual agama memegang peranan yang sangat penting dalam membantu proses penyembuhan mereka.
Disamping itu, keluarga yang aktivitas keagamaannya sangat kental tampak lebih harmonis bila dibandingkan dengan keluarga yang aktivitas keagamaannya kurang atau bahkan tidak ada.

Walaupun belum ada penelitian resmi tentang sebab-sebab beralihnya agama seseorang, namun secara umum dapat kita jumpai bahwa keluarga yang aktivitas keagamaannya sangat kental cenderung untuk sulit terjadi ada anggota keluarganya yang beralih agama.
Oleh karena itu, sebagai umat Buddhis kita harus dapat memahami peranan agama Buddha bagi kehidupan berkeluarga secara baik dan benar dan kemudian berusaha untuk mengimplementasikannya dalam hidup sehari-hari, agar kehidupan sebagai umat awam dapat berjalan dengan baik dan harmonis.
Disamping itu, dengan memahami peranan agama Buddha dalam keluarga tersebut, maka diharapkan kualitas hidup sebagai umat Buddhis juga dapat terus berkembang dengan baik dan tidak lagi dijumpai anak-anak Buddhis yang beralih agama.

Peranan Orangtua Dalam Mengembangkan Agama Buddha

Orangtua memegang peranan yang sangat panting dalam membina dan mengarahkan pendidikan agama Buddha dalam keluarganya.
Karena pada umumnya mulai sejak lahir hingga besar anak-anak tinggal dengan orangtuanya, dan orangtualah yang mempunyai kewajiban serta peluang paling besar untuk memberikan pendidikan agama Buddha sejak awal seorang bayi dilahirkan ke dunia hingga ia dewasa, baik pendidikan formal maupun informal agar setelah besar dan dewasa mereka tetap teguh memeluk agama Buddha.

Di Indonesia, pada umumnya banyak keluarga Buddhis yang mengalami kesulitan untuk memberikan dan memilihkan pendidikan formal agama Buddha bagi anak-anak mereka.
Bagi mereka yang tinggal di kota-kota besar mungkin tidak terlalu bermasalah untuk menyekolahkan anak-anaknya di sekolah-sekolah Buddhis yang ada di kotanya, namun bagi mereka yang pada lingkungan tempat tinggalnya tidak ada sekolah Buddhis atau jika adapun biasanya mutu sekolahnya kurang baik.
Maka biasanya mereka terpaksa harus menyekolahkan anak- anaknya di sekolah-sekolah lain yang non-Buddhis.

Jika mereka masuk sekolah negeri mungkin tidak terlalu bermasalah karena sekolah tersebut wajib menyediakan guru agama yang sesuai dengan agama yang dianut anak~didik yang bersangkutan, atau jika jumlah siswanya sedikit maka diperbolehkan mengambil pelajaran dan mendapat nilai agama dari luar sekolah, misalnya dari Vihara terdekat.

Namun jika anak itu masuk pada sekolah-sekolah yang dikelola oleh yayasan agama lain, maka umumnya walaupun agama anak-anak tersebut berbeda namun diwajibkan untuk mengikuti pelajaran agama dari sekolah yang bersangkutan.
Disinilah mulai timbul masalah, karena adanya pengaruh lingkungan sekolah yang
pelajaran agama di sekolahnya berbeda dengan agama yang dianut orang tuanya, dan jika pada lingkungan rumah anak tersebut orangtuanya kurang memperhatikan pendidikan agama Buddha bagi anak-anak mereka.
Sedangkan anak-anak tersebut hampir setiap saat banyak mendapat indoktrinasi dalam Iingkungan sekolah, baik melalui para guru maupun teman-teman sekolahnya.
Akibatnya, sebagian besar dari anak-anak tersebut akan terpengaruh untuk beralih agama, dari beragama Buddha menjadi pemeluk agama yang lain.

Karena untuk usia-usia awal, yaitu mulai sejak dilahirkan hingga usia tujuh tahun adalah masa-masa yang sangat kritis bagi para orangtua dalam mendidik anak-anak mereka.
Anak-anak membutuhkan contoh dari orang-tuanya tentang pelaksanaan agama Buddha dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Orangtua juga dituntut untuk memberikan nuansa religius dalam keluarga mereka, antara lain dengan mengajarkan anak-anak mereka membaca paritta, menceritakan kisah-kisah religius agama Buddha, dan pada saat-saat tertentu, seperti : menempati rumah baru, merayakan ulang tahun, dan membuka usaha baru, dapat dilakukan dengan cara
mengundang para bhikkhu untuk mempersembahkan dana makanan kepada mereka, dan kemudian menyalurkan jasa-jasa kebaikan tersebut kepada para leluhur atau semua makhluk yang membutuhkan.

Disamping itu, pada saat perayaan hari-hari suci agama Buddha, seperti : Waisak, Asadha, Kathina, dan Magha-puja, maka orangtua wajib mendorong anak-anak mereka untuk datang ke vihara atau tempat-tempat perayaan yang ada.
Hal ini dimaksudkan agar anak-anak dapat lebih menghayati agama Buddha, dan dapat berinteraksi dengan kawan-kawan sebayanya serta tokoh-tokoh Buddhis serta para guru sekolah minggu mereka.
Sehingga keyakinannya terhadap agama Buddha dapat terus tumbuh dan berkembang dalam dirinya.

Agar anak-anak dapat lebih mengerti dan menghayati agama Buddha, maka selain praktek-praktek agama tersebut di atas, orangtua juga harus memberikan perhatian khusus atas pendidikan agama Buddha bagi anak-anak mereka.
Karena anak-anak yang berusia di bawah tujuh tahun pada umumnya belum mempunyai kesadaran dan keyakinan dalam memahami suatu agama.
Sehingga mudah dipengaruhi oleh pihak lain untuk beralih agama.
Oleh karena belum mempunyai kesadaran akan Dhamma itu pulalah maka Sang Buddha membatasi usia untuk menjadi seorang samanera adalah minimal tujuh tahun.

Orangtua yang mau memberi pendidikan agama kepada anak-anak mereka, baik formal maupun informal adalah bagaikan mengadakan investasi untuk masa tua mereka sendiri, karena telah banyak terbukti bahwa orangtua yang dapat mendidik anak-anak mereka secara agama Buddha, maka anak-anak mereka kelak akan berbakti dan merawat orang-tuanya ketika sudah tua-renta dan jompo, bahkan setelah meninggal-pun mereka tetap akan terus berbakti dengan cara banyak melakukan perbuatan baik dan kemudian menyalurkan jasa-jasa kebajikan tersebut kepada orang-tua mereka.

Sedangkan bagi orang-tua yang tidak mendidik anak-anak mereka secara agama Buddha dan bahkan membiarkan anak-anaknya beralih agama, maka setelah tua, anak-anak mereka tidak mau merawatnya dan pada banyak kasus mereka lebih suka menitipkan orangtuanya untuk tinggal di panti jompo.
Bahkan setelah orangtuanya meninggal pun banyak dijumpai kuburan mereka yang tidak pernah diziarahi dan dibiarkan rusak dan tidak terawat.

Sekitar sepuluh tahun yang lalu, pernah dibahas oleh para pakar pendidikan yang ada di Singapura tentang perlu diaktifkannya kembali pelajaran budi-pekerti di sekolah-sekolah Singapura, terutama ajaran bakti dari Khong Hu Chu.
Hal ini didasarkan pada banyaknya kasus bunuh diri para orangtua di sana, karena mereka merasa disia-siakan oleh anak-anak mereka, yaitu banyak anak di
Singapura yang telah dewasa dan berkeluarga, yang tidak mau lagi
merawat sendiri orangtua mereka yang sudah renta, jompo atau sakit-sakitan, karena dianggap hanya akan merepotkan dan menjadi beban hidup mereka.

Mereka lupa bahwa kedua orangtuanya itu telah begitu sayang dan cintanya kepada mereka, hingga telah membesarkan dan memberikan semua yang terbaik bagi mereka.
Namun sekarang mereka tidak mau peduli lagi dengan orangtuanya di panti-panti jompo.
Akibatnya, karena merasa disia-siakan hidupnya dan tidak ada lagi keluarga yang mau memperhatikan dan merawat mereka, sehingga mereka merasa tiada lagi artinya hidup di dunia ini, maka akhirnya cukup banyak orangtua yang mengambil jalan- pintas untuk melakukan bunuh diri.

Oleh : Adi Suhardi Heryanto

Sumber Dhamma kehidupan.

(Bersambung ke part II)