Pengusaha Perikanan Nasional Mulai Berteriak soal Transshipment
JAKARTA, KOMPAS.com – Kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP) Susi Pudjiastuti perihal larangan alih muatan (transshipment) di tengah laut lambat laun dirasa menyusahkan oleh pengusaha perikanan tangkap nasional.
Demikian
disampaikan oleh Sekretaris Jenderal DPP Asosiasi Tuna Longline
Indonesia (ATLI) Dwi Agus Siswa Putra, Kamis (4/6/2015). Memang kata,
Dwi, saat ini para nelayan tradisional tengah berbahagia dengan aturan
pelarangan transshipment. Sebab, terjadi peningkatan hasil produksi nelayan tangkap yang cukup signifikan.
Namun
di lain pihak, pengusaha perikanan nasional pemilik kapal lokal
mengalami penurunan produksi. Pasalnya, mereka tidak bisa mengoperasikan
kapal-kapal angkut yang membawa hasil tangkapan ikan dari tengah laut
ke pelabuhan perikanan.
Data produksi ATLI menunjukkan, untuk
komoditas tuna saja misalnya terjadi penurunan sejak Januari lalu. Pada
bulan Januari 2015, produksi tuna ATLI mencapai 1,2 juta kilogram (kg).
Angka ini menurun pada Februari 2015 menjadi 976.776 kg, dan menjadi
848.411 kg pada Maret 2015. Produksi tuna terus turun pada April 2015
menjadi sekitar 628.396 kg.
Dwi mengatakan, pengusaha perikanan
tangkap nasional sepakat dengan kebijakan pelarangan transshipment.
Namun dia meminta Susi untuk memberikan kelonggaran bagi pengusaha
perikanan tangkap nasional, untuk bisa melakukan alih muatan.
“Tapi kami minta kebijakan dari pemerintah. Kita ikut operasi dalam penangkapan. Transshipment silakan saja, tapi agar kapal angkut ini bisa beroperasi,” kata Dwi.
Kebijakan larangan transshipment
dilatarbelakangi banyaknya ekspor ikan yang tidak terdata dengan baik,
dan dugaan adanya praktik penangkapan ikan ilegal. Kebijakan ini
diberlakukan Susi melengkapi kebijakan moratorium izin tangkap kapal eks
asing.
Akibat dua kebijakan ini, produksi nelayan tradisional
mengalami peningkatan. Namun di sisi lain, tidak beroperasinya kapal
angkut memberikan dampak turunan. Di sentra produksi tuna Bitung
misalnya, sebanyak 55 kapal angkut ikan mandeg operasi sejak pelarangan transhipment.
Semua kapal tersebut adalah milik pengusaha perikanan tangkap di bawah Asosiasi Kapal Perikanan Nasional Sulawesi Utara.
Ketua
asosiasi, Rudi Waluko mengatakan, akibat tidak beroperasinya 55 kapal
angkut tersebut maka pasokan ke Unit Pengolahan Ikan (UPI) melorot lebih
dari 70 persen. Biasanya, kebutuhan dari 53 UPI yang ada di Bitung –
tidak termasuk 7 pabrik pengalengan – sebanyak 800 ton bisa dicukupi.
Namun akibat pelarangan transhipment, pasokan ikan yang masuk ke UPI hanya 300 ton.
Dari
sisi produksi, hasil tangkapan ikan yang biasanya sebesar 80 ton per
hari menjadi hanya 20 ton per hari. “Kehilangan 60 ton per hari satu
kapal itu ada Rp 600 juta. Yang tidak beroperasi ada 55 kapal angkut,”
kata Rudi.
Tak hanya itu saja, dengan tidak beroperasinya 55
kapal angkut, sekitar 2.000 anak buah kapal dirumahkan. Beberapa
diantaranya sudah memilih pulang ke kampung halaman, seperti ke Pulau
Jawa.
“Kami sangat mengharapkan kebijakan transshipment jangan dicabut. Karena ditakutkan ada transshipment,
ikan dibawa lagi ke luar negeri. Tapi tolong diberikan perlakukan
khusus alih muat bagi kapal nasional, agar bisa jalan, ABK juga bisa
hidup,” tukas Rudi.