Si Penarik Pedati

Saat pemerintahan raja Huang Mang pada dinasti Tung Ha, pemerintahannya tidak stabil dan mantap, sehingga timbul kekacauan, perampokan, pembunuhan dan pembakaran rumah-rumah. Untuk itu banyak rakyat yang mengungsi ke tempat yang lebih aman.

Saat itu di daerah San Tung - Ling Che, tinggal seorang anak yatim bernama Ciang Ke yang berumur 10 tahun dengan ibunya, tanpa ada sedikit pun harta peninggalan dan mereka berdua harus hidup dalam kemiskinan dan penderitaan.

Dalam keadaan yang kacau saat itu , ditambah adanya berita bahwa gerombolan perampok sudah sampai didaerah mereka, telah membuat ibunya cemas dan berkata, " Nak, bagaimana ini? , perampok-perampik sudah mendekat ke tempat kita".

Ciang Ke menenangkan ibunya sambil menjawab, "Tentu kita harus mengungsi seperti tetangga lainnya, dan ibu tidak perlu khawatir, saya menggendong ibu di punggung dan kita akan mengungsi ke tempat yang aman.

Segeralah , ibu dan anak berangkat dengan buntelan kecil yang berisi beberapa baju, dan Ciang Kee menggendong ibunya di belakang punggung dan mengungsi bersama orang sekampungnya.

Dalam pengungsian yang menyengsarakan, Ciang Ke seringkali memetik buah-buahan dan sayuran liar yang ditemui, untuk dimakan berdua dengan ibunya.

Satu hari, dalam pengungsian itu, secara tak terduga mereka bertemu dengan gerombolan perampok. Gerombolan perampok yang tampangnya sangat ganas dan menakutkan dengan golok besarnya, segera menghampiri mereka berdua.

"Huh, dasar sial, mereka hanya nenek tua miskin dan anaknya, tidak ada apa-apa yang bisa di ambil" kata salah satu di antara mereka, sambil berjalan mendekati mereka berdua. Ciang Ke meskipun sangat takut, tapi melihat penjahat mendekati dia dan ibunya, segera merentangkan tangan membelakangi dan mau melindungi ibunya.

"Mohon jangan apa-apa kan ibu saya", pintanya kepada perampok
"Ha ha, untuk apa nenek tua ini. Saya melihat kamu berbadan sehat dan kuat. Ayo ikut kita dan jadi pelayan. Dijamin kamu cukup makan", kata perampok tertawa sambil melirik Ciang Ke. Hati Ciang Ke berdetak kencang, tapi dia memberanikan diri dan berlutut memohon kepada perampok ganas itu, "Mohon ampun tuan besar!. Kalau saya ikut tuan-tuan, maka ibu saya yang tua dan lemah ini tidak ada yang menjaga, dan bisa-bisa mati kelaparan. Mohon lepaskan kami.", sambil ibu dan anak berangkulan dan menangis sedih.

Masih beruntung ketemu perampok yang masih ada sedikit hati ibanya, dan juga karena melihat Ciang Ke yang berbakti, maka perampok berkata : "Baiklah, karena kamu ini sangat berbakti pada ibumu, kami masih menaruh kasihan. Cepat-cepat pergi dan jangan sampai kalian bertemu kami lagi."

Ibu dan anak dengan buru-buru berterima kasih dan meninggalkan tempat itu. Sampailah ibu dan anak di daerah Sia Pei dan di sana meskipun tidak terdapat gerombolan perampok yang mengacau, tapi karena miskin dan uang sepeser pun tidak ada lagi, disamping itu baju yang ada sudah compang camping dan sepatu juga sudah koyak. Sungguh menderita ibu dan anak.

Sesudah mendapatkan pemondokan sementara di biara yang terlantar, maka segeralah Ciang Ke mencari kerja kemana-mana demi menyambung hidup mereka berdua.

Setelah memperoleh pekerjaan, Ciang Ke bekerja begitu giat dan semangat, dan sedikit demi sedikit dapat mengumpulkan uang. Begitu terkumpul maka segera dibelikan barang kebutuhan ibunya, dari makanan sampai pakaian, semuanya berusaha disediakan yang terbaik, dan untuk dirinya sendiri , ia berusaha menghemat sebisanya. Sampai baju dan sepatunya koyak pun tetap dipakainya, begitu juga makanan untuk sendiri, seadanya saja

Pikirnya: "Ibu sudah tua, biarlah bisa senang sedikit di hari tuanya, dan saya masih muda, kapan saja masih ada kesempatan."

Karena rajinnya bekerja dan sikap baktinya, maka perlahan-lahan orang-orang pun mengenal dia, sehingga tidak sedikit orang yang mau membantunya dan membuat kehidupan mereka lebih baik lagi.

Suatu waktu, saat keadaan sudah tenang kembali, maka ibu dan dirinya yang sudah rindu kampung halamannya sendiri, memutuskan kembali ke kampungnya.

Sesampai di kampung halamannya, maka Ciang Ke bersama ibunya memulai hidup baru yang lebih baik karena sudah ada bekal uang yang di kumpulkannya.

Dan demi ibunya, agar bisa sekali-kali pergi berjalan-jalan menikmati pemandangan, Ciang Ke pun membeli sebuah pedati yang biasanya ditarik sapi. Namun karena Ciang Ke khawatir sapi tidak bisa menjaga kenyamanan perjalanan yang dapat mengakibatkan tubuh ibunya terguncang karenanya, Ciang Ke pun memutuskan dirinya sendirilah yang akan menarik pedatinya.
Maka pedati pun ditariknya dengan hati-hati supaya ibunya merasa nyaman, sehingga bisa berjalan-jalan dengan tenangnya melihat-lihat pemandangan.

Karena sikapnya yang begitu hormat dan berbaktinya, maka penduduk setempat pun menjulukinya "Si Bakti Ciang"

Sumber : Dhamma Kehidupan